Memerangi
kemiskinan dan mengatasi ketimpangan bukanlah pekerjaan mudah karena dibutuhkan
waktu atau proses yang panjang. Sejak pembangunan Orde Baru, kritik terhadap
pertumbuhan ekonomi yang dicapai ternyata tidak menetes kebawah, kemiskinan yang berlarut larut dan
kecenderungan divergensi antara wilayah dan kelompok sering dilontarkan oleh banyak pihak. Situasi
itu masih berlanjut. BPS telah merilis
fenomena kemiskinan perdesaan yang masih terus menerus menghantui. Selain itu,
angka ketimpangan masih tinggi kendati mengalami sedikit penurunan.
Melalui
pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,
sejak tahun 2015 desa desa memperoleh dana perimbangan keuangan yang
kemudian disebut dana desa. Sesuai dengan undang undang, dana desa yang dialokasikan
akan mencapai minimal 10% dari dana perimbangan. Pada tahun 2015 tersedia alokasi Rp. 20
trilyun rupiah, selanjutnya pada tahun 2016 dan 2017 menerima dana desa sebesar
Rp. 40 Trilyun dan Rp. 60 trilyun. Akumulasi total selama tiga tahun telah
mencapai Rp. 127 trilyun.
Namun
besarnya dana yang telah ditransfer ke desa belum diimbangi oleh efektifitas
pengelolaan dana desa. Khususnya pengaruh dana desa dalam mengatasi kemiskinan.
Kesan ini yang dilihat oleh Presiden Jokowi sebagai pesan kepada pembantu
pembantunya, khususnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (Kemendes) dan Kementrian
Dalam Negeri untuk menilai kembali startegi
dan kebijakan pembangunan desa.
Sebelum muncul
terminologi dana desa, desa desa telah
menerima sumber sumber pembangunannya dari pendapatan asli desa dan dana
perbantuan. Sayangnya arus dana yang
masuk ke desa tidak disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintah desa dan
pemberdayaan masyarakat. Meskipun terdapat
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) selama 1998-2014,
perhatian terhadap tata kelola
desa dan pemerintahan desa belum menjadi perhatian khusus. Karena memang PNPM
memiliki cakupan wilayah administrasi kecamatan.
Sejak pemberlakuan
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, paradigma dalam pembangunan desa yang selama
ini dijalankan harus dilihat kembali.
Sayangnya, keberadaan payung hukum itu belum dimanfaatkan maksimal
oleh pemerintah. Sejauh ini pelaksanaan
UU No 6/2014 sebatas “mengutak atik”
dana desa; termasuk kementerian/lembaga yang menangani desa dan pemerintah
daerah. Padahal dana desa menjadi salah
satu aliran dana sebagai konsekwensi
dari kewenangan asal usul dan lokal yang dimiliki oleh desa. Pada bagian ini sudah
seharusnya Pusat maupun daerah tidak berlebihan dalam menyusun diskresi
terhadap dana desa melalui aneka macam aturan/regulasi; dampaknya justeru akan
mematikan prakarsa masyarakat dan desa. Terdapat
sumber sumber lain yang justeru terabaikan oleh kebijakan pemerintah dan belum
dimanfaatkan secara inovatif. Ketidakmampuan ini disebabkan oleh lemahnya
pemahaman terhadap dinamika pedesaan yang selama kurang lebih dua abad
terperangkap dalam “keberlanjutan”
kemiskinan dan pemiskinan.
Wajah
Multidimendi Desa
Mengapa
percepatan pembangunan desa dilakukan? Gambaran
multidimensi terhadap desa masih belum difahami oleh pemerintah, baik pusat
maupun daerah, secara lebih baik.
Pengetahuan terhadap desa masih begitu premateur, sehingga kebijakan
menjadi tumpul dan tidak memiliki greget, bahkan cenderung melakukan
kanalisasi. Konsekwensi terhadap ini, misalnya, gagalnya pemerintah menetapkan
desa adat dari target yang diharuskan karena tindakan yang lambat sebagai
akibat dari lemahnya pemahaman terhadap desa adat.
Wajah
multidimensi desa desa di Indonesia tidak hanya tingkat perkembangan fisik
dan letak geografi/topografi, tetapi
juga ketersediaan sumber daya alam, keragaman sosial budaya serta kualitas
hidup manusia. Pembangunan desa memberi
ruang bagaimana ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi tercipta untuk mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan.
Lemahnya
ketahanan ekologi sebagaimana tercermin dari banjir, longsor, kebakaran hutan
dan pencemaran pada satu sisi,
sementara perkembangan ekonomi melaju
pesat, misalnya, akan menyimpan potensi kerusakan di masa depan bagi generasi yang akan datang. Saat ini banyak desa desa
mengembangkan desa wisata yang berbasis pada sumber daya alam. Bila arah
pengelolaan dan pengembangan tidak
mempertimbangkan aspek ekologi,
kemajuan ekonomi desa yang diperoleh tidak akan berdampak dalam jangka
panjang. Ketidakseimbangan atau
ketimpangan perkembangan antar dimensi memendam potensi konflik di masyarakat
desa, dan juga antar desa.
Dengan
demikian strategi percepatan pembangunan melihat konfigurasi di atas yang dijalankan dengan memperkuat dan
mengembangkan inisatif lokal dan kewirausahaan.
Harapannya penduduk desa dan desa harus membebaskan diri dari
ketergantungan (eksploitatatif) perdagangan, finansial dan teknologi serta
informasi. Strategi ini dikenal dengan strategi
pembangunan yang bersifat endogen
(endegenous development).
Dalam
pembangunan ekonomi desa, misalnya, pendekatan yang disusun bertumpu pada community economics, pendekatan yang multifacet dan komprehensif terhadap perubahan masyarakat yang mempertimbangkan
aspek sosial budaya, kelembagaan/aturan, sumber daya (alam, manusia,
modal/finansial), pasar dan pengambilan keputusan di tingkat dusun/desa. Pendekatan tunggal menjadi bias sektor yang
memecahkan persoalan secara fragmentasi. Dalam mengembangkan atau memperkuat
kelembagaan ekonomi desa, misalnya, tidak semata mata dorongan diberikan kepada
BUMDES secara serta merta. Pengembangan kelembagaan ekonomi membutuhkan
prasyarat yang harus dipenuhi, seperti keterlibatan aktif masyarakat desa,
sehingga diperlukan semacam peta jalan yang utuh. Kegagalan lembaga lembaga
ekonomi di masa lalu, seperti KUD, karena dikembangkan dan dibangun secara
serta merta dengan pendekatan formalistik (yuridis). Kesan elitis dalam lembaga
tersebut menjadi tampak ketija terjadi perubahan sosial politik dikemudian hari
(reformasi).
Sejauh ini
penduduk desa memiliki banyak pengalaman yang berharga dalam membangun desanya.
Tidak hanya kegagalan dan keterpurukan, tetapi juga banyak keberhasilan yang
telah dicapai. Babak baru pembangunan desa saat ini adalah momentum UU No 6
Tahun 2014 tentang desa. Dengan landasan
hukum ini yang harus diingat oleh pengambil
kebijakan adalah desa sebagai subjek
pembangunan. Pada titik ini keberhasilan
dan kegagalan pembangunan dimulai. ****