Meninjau BUMDES


 
Pembangunan Perdesaan

Kawasan perdesaan adalah kawasan yang memiliki fungsi sebagai tempat pemukiman, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi utama di kawasan perdesaan adalah pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Hal ini antara lain tercermin dari data ketenagakerjaan yang menunjukkan bahwa dari seluruh tenaga kerja yang bekerja di perdesaan pada tahun 2006 (57,3 juta orang atau 60,0 persen dari total tenaga kerja nasional), sebanyak 37,6 juta (65,7 persen) diantaranya bekerja di sektor pertanian (Sakernas 2006). 
Kondisi kawasan perdesaan pada umumnya masih tetap dicirikan oleh masih besarnya jumlah penduduk miskin, terbatasnya alternatif lapangan kerja, dan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja perdesaan. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya kendala seperti rendahnya tingkat penguasaan lahan pertanian oleh rumah tangga petani dan tingginya ketergantungan pada kegiatan budidaya pertanian (on farm), lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi antara sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan dan jasa penunjang serta keterkaitan antara kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat perdesaan, rendahnya akses masyarakat kepada sumber permodalan dan sumber daya ekonomi produktif lainnya, serta terbatas dan belum meratanya tingkat pelayanan prasarana dan sarana dasar bagi masyarakat.

Sebagian besar penduduk Indonesia saat ini masih bertempat tinggal di kawasan permukiman perdesaan (sekitar 60 persen, data Sensus Penduduk tahun 2000). Selama ini kawasan perdesaan dicirikan antara lain oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman perdesaan. Rendahnya produktivitas tenaga kerja di perdesaan bisa dilihat dari besarnya tenaga kerja yang ditampung sektor pertanian (46,26 persen dari 90,8 juta penduduk yang bekerja), padahal sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional menurun menjadi 15,9 persen (Susenas, 2003). Sementara itu tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan bisa ditinjau baik dari indikator jumlah dan persentase penduduk miskin (head count), maupun tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin adalah 37,3 juta jiwa (17,4 persen), di mana persentase penduduk miskin di perdesaan 20,2 persen, lebih tinggi dari perkotaan yang mencapai 13,6 persen.

Dengan penduduk dan angkatan kerja perdesaan yang akan terus bertambah sementara pertumbuhan luas lahan pertanian relatif tidak meningkat secara signifikan, maka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi tidak produktif. Oleh karena itu sangat penting untuk mengembangkan lapangan kerja non pertanian (non-farm activities) guna menekan angka kemiskinan dan migrasi ke perkotaan yang terus meningkat. Pengembangan ekonomi lokal yang bertumpu pada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ) dan Koperasi, dan berbasis sumberdaya perdesaan serta terkait dengan kegiatan di kawasan perkotaan berpotensi menyediakan lapangan kerja berkualitas bagi penduduk perdesaan.
Bersamaan dengan usaha pertanian yang semakin modern, UMKM dan Koperasi yang berkembang sehat di perdesaan akan membentuk landasan yang tangguh bagi transformasi jangka panjang dari masyarakat agraris ke arah masyarakat industri. Sejalan dengan itu, ketersediaan infrastruktur di perdesaan juga perlu ditingkatkan, baik yang berfungsi untuk mendukung aktivitas ekonomi maupun peningkatan kualitas lingkungan permukiman di perdesaan. Kawasan perdesaan yang mampu menyediakan lapangan kerja produktif dan lingkungan permukiman yang sehat dan nyaman akan menjadi penahan bagi berpindahnya penduduk dari desa ke kota.

Permasalahan Perdesaan

Kawasan perdesaan menghadapi permasalahan-permasalahan internal dan eksternal yang menghambat perwujudan kawasan permukiman perdesaan yang produktif, berdaya saing dan nyaman sebagaimana diuraikan dalam butir-butir berikut:

1. Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas. Kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, baik industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun industri kerajinan serta jasa penunjang lainnya sangat terbatas. Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil. Di sisi lain, saat ini terjadi penciutan lapangan kerja formal baik di perkotaan maupun di perdesaan.

2. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial. Kondisi ini tercermin dari kurangnya keterkaitan antara sektor pertanian (primer) dengan sektor industri (pengolahan) dan jasa penunjang, serta keterkaitan pembangunan antara kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan. Kota-kota kecil dan menengah yang berfungsi melayani kawasan perdesaan di sekitarnya belum berkembang sebagai pusat pasar komoditas pertanian; pusat produksi, koleksi dan distribusi barang dan jasa; pusat pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah non pertanian; dan penyedia lapangan kerja alternatif (non pertanian).

3. Timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antar daerah. Dalam era otonomi daerah timbul kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam bentuk pengenaan pajak dan retribusi (pungutan) yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, di antaranya pungutan yang dikenakan dalam aliran perdagangan komoditas pertanian antar daerah yang akan menurunkan daya saing komoditas pertanian.

4. Tingginya risiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan. Petani dan pelaku usaha di kawasan perdesaan sebagian besar sangat bergantung pada alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat akan meningkatkan risiko kerugian usaha seperti gagal panen karena banjir, kekeringan, maupun serangan hama penyakit. Pada kondisi demikian, pelaku industri kecil yang bergerak di bidang pengolahan produk-produk pertanian otomatis akan terkena dampak sulitnya memperoleh bahan baku produksi. Risiko ini masih ditambah lagi dengan fluktuasi harga dan struktur pasar yang merugikan.

5. Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan. Ini terlihat dari besarnya jumlah rumah tangga petani gurem (petani dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha) yang mencapai 13,7 juta rumah tangga (RT) atau 56,2 persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan pada tahun 2003. Hal ini ditambah lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya ekonomi seperti lahan/tanah, permodalan, input produksi, keterampilan dan teknologi, informasi, serta jaringan kerjasama. Khusus untuk permodalan, salah satu penyebab rendahnya akses masyarakat perdesaan ke pasar kredit adalah minimnya potensi kolateral yang tercermin dari rendahnya persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki sertifikat tanah yang diterbitkan BPN, yaitu hanya mencapai 21,63 persen (tahun 2001). Akses masyarakat perdesaan juga masih minim dalam pemanfaatan sumber daya alam. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, pertambangan dan pesisir masih tergolong rendah, bahkan sebagian besar tergolong miskin.

6. Rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan. Ini tercermin dari total area kerusakan jaringan irigasi yang mencapai sekitar 30 persen, rasio elektrifikasi kawasan perdesaan yang baru mencapai 78 persen (tahun 2003), jumlah desa yang tersambung prasarana telematika baru mencapai 36 persen (tahun 2003), persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses terhadap pelayanan air minum perpipaan baru mencapai 6,2 persen (tahun 2002), persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses ke prasarana air limbah baru 52,2 persen (tahun 2002), meningkatnya fasilitas pendidikan yang rusak, terbatasnya pelayanan kesehatan, dan fasilitas pasar yang masih terbatas di perdesaan khususnya di Kawasan Timur Indonesia.

7. Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketrampilan rendah (low skilled). Ini ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 5,84 tahun atau belum lulus SD/MI; sementara itu rata-rata lama sekolah penduduk perkotaan sudah mencapai 8,73 tahun. Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan SMP/MTs ke atas hanya 23,8 persen, jauh lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang jumlahnya mencapai 52,9 persen. Kemampuan keaksaraan penduduk perdesaan juga masih rendah yang ditunjukkan oleh tingginya angka buta aksara yang masih sebesar 13,8 persen atau lebih dari dua kali lipat penduduk perkotaan yang angkanya sudah mencapai 5,49 persen (Susenas 2003).

8. Meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan lain. Di samping terjadinya peningkatan luas lahan kritis akibat erosi dan pencemaran tanah dan air, isu paling kritis terkait dengan produktivitas sektor pertanian adalah penyusutan lahan sawah. Pada kurun waktu 1992-2000 luas lahan sawah telah berkurang dari 8,2 juta hektar menjadi 7,8 juta hektar. Kondisi ini selain didorong oleh timpangnya nilai land rent pertanian dibanding untuk permukiman dan industri, juga diakibatkan lemahnya penegakan peraturan yang terkait dengan RTRW di tingkat lokal.

9. Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sumber daya alam dan lingkungan hidup sebenarnya merupakan aset yang sangat berharga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Namun demikian, potensi ini akan berkurang bila praktek-praktek pengelolaan yang dijalankan kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Contoh dari hal ini dapat dilihat pada data Statistik Kehutanan tahun 2002, di mana perkiraan luas lahan kritis sampai dengan Desember 2000 adalah 23,24 juta hektar, dengan 35 persen berada di dalam kawasan hutan dan 65 persen di luar kawasan hutan. Untuk hutan sendiri telah terjadi peningkatan laju degradasi dari 1,6 juta hektar/tahun pada kurun 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar/tahun pada kurun waktu 1997-2001.


10. Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat. Ini tercermin dari kemampuan lembaga dan organisasi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta dalam memperkuat posisi tawar masyarakat dalam aktivitas ekonomi. Di samping itu juga terdapat permasalahan masih terbatasnya akses, kontrol dan partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan di perdesaan yang antara lain disebabkan masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki, yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada kedudukan dan peran yang berbeda, tidak adil dan tidak setara.

11. Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan. Pembangunan perdesaan secara terpadu akan melibatkan banyak aktor meliputi elemen pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta. Di pihak pemerintah sendiri, koordinasi semakin diperlukan tidak hanya untuk menjamin keterpaduan antar sektor tetapi juga karena telah didesentralisasikannya sebagian besar kewenangan kepada pemerintah daerah. Lemahnya koordinasi mengakibatkan tidak efisiennya pemanfaatan sumber daya pembangunan yang terbatas jumlahnya, baik karena tumpang tindihnya kegiatan maupun karena tidak terjalinnya sinergi antar kegiatan.

Format Otonomi Desa

Berbicara mengenai format otonomi desa sebenarnya tidak dapat lepas dari kajian tentang kewenangan desa. Ada beberapa model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa:
1. Apabila desa diberi kedudukan sebagai kesatuan masyarakat (self governing community) yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan asal usul dan hak-hak tradisionalnya (kedudukan desa sebagai desa adat) maka kewenangan yang dimiliki oleh desa adalah kewenangan asli berdasarkan asas rekognasi;
2. Apabila desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (local self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “diserahkan” dari pemerintah, sesuai dengan asas desentralisasi;
3. Apabila desa ditempatkan sebagai unit administratif atau kepanjangan tangan negara (lokal self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “didelegasikan” oleh pemerintah atasannya sesuai asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan.

Sejarah pengaturan mengenai desa, kedudukan, dan kewenangannya sangatlah panjang bahkan sudah ada sejak zaman pemerintah Belanda melalui Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) untuk mengatur desa di Jawa dan Madura; serta Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewsten (IGOB) untuk mengatur desa di luar Jawa dan Madura. IGO dan IGOB inilah yang menjadikan bentuk dan corak desa beraneka ragam dengan memiliki ciri-ciri tersendiri.

Pengaturan desa dalam suatu masa “penyeragaman” diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 1979. Undang-undang ini menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara, yang artinya pemerintahan ada di pusat tetapi dilaksanakan di daerah. Kewenangan desa tidak disebutkan secara jelas hanya dinyatakan bahwa kewenangan, hak-hak, dan kewajiban desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan desa adalah kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul, kewenangan yang oleh peraturan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta tugas pembantuan dari Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah. Undang-undang ini mengarah ke otonomi desa tetapi memberikan cek kosong kepada Bupati untuk mengatur desa karena yang memberikan desentralisasi adalah negara bukan kabupaten.

Sedangkan saat ini kewenangan desa berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Menurut Undang-undang ini kedudukan desa menjadi ambivalen dan tidak jelas. Undang-undang ini mempertegas “otonomi asli” sebagai prinsip pemerintahan desa. “Otonomi asli” berarti identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi dari kewenangan yang diberikan menunjukkan desa sebagai unit administratif atau satuan pemerintahan, sehingga dapat dikatakan bahwa format otonomi desa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah berbentuk campuran.
Mengikuti model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa, maka hubungan keuangan desa dengan pemerintah juga dibedakan sebagai berikut:
1. Desa kesatuan masyarakat, memperoleh bantuan pemerintah terutama untuk mendukung pengembangan masyarakat;
2. Desa sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom, memperoleh dana alokasi desa secara nasional seperti halnya DAU yang diterima oleh provinsi dan kabupaten/kota yaitu Alokasi Dana desa (ADD);
3. Desa administratif, memperoleh bantuan operasional, bantuan pembangunan dan bantuan dalam tugas pembantuan.

Namun demikian, Pendapatan Asli Desa (PADesa) yang terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, serta lain-lain pendapatan asli desa yang sah, juga merupakan sumber pendapatan desa yang diperlukan untuk memperkuat keuangan desa dalam pengelolaan dan pembangunan desa. Oleh karenanya optimalisasi pendapatan asli desa melalui pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi hal yang sangat penting dalam mendukung penguatan PADesa. Jika PADesa bisa ditingkatkan maka desa akan mendapatkan dana pengelolaan dan pembiayaan pembangunan untuk desa tersebut, sehingga akan terwujud kemandirian desa dalam memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas-fasilitas umum di desa. Hal ini akan menjadikan desa untuk tidak hanya menunggu pembangunan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat.

Optimalisasi Aktivitas Perekonomian
Salah satu permasalahan dalam proses pembangunan daerah adalah disparitas pembangunan antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Pembangunan cenderung terpusat pada kawasan perkotaan sehingga masyarakat perkotaan memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber daya ekonomi dan cenderung memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Proses pemerataan akses kesempatan bagi masyarakat perdesaan merupakan bagian dari upaya penguatan kemampuan masyarakat untuk memperluas pilihan-pilihan baik dalam proses kegiatan maupun pemanfaatan hasil pembangunan. Pemerataan akses kesempatan merupakan pendekatan agar kemampuan yang dimiliki dapat didayagunakan secara optimal bagi pengembangan kehidupan masyarakat pedesaan.

Pendekatan pemerataan kesempatan itu merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas agar kesenjangan pendapatan makin berkurang antara masyarakat desa dan kota. Masalah utama untuk menjalankan upaya ini adalah perlunya pemihakan (affirmative action) kepada proses intervensi pembangunan bagi masyarakat pedesaan. Hal ini sejalan dengan amanat UU No 17 tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 dimana salah satu agendanya adalah industrialisasi dan modernisasi ekonomi perdesaan.
Dalam jangka pendek peluang implementasi industrialisasi dan modernisasi ekonomi perdesaan lebih besar bisa dilakukan di desa-desa tertentu yang memiliki kriteria sebagai desa pusat pertumbuhan (DPP). Kriteria utama DPP adalah daerah yang memiliki kecenderungan pertumbuhan pembangunan dalam aspek sosial dan ekonomi tinggi yang dicirikan dengan adanya kegiatan perdagangan dan jasa, seperti: pasar, industri kecil/rumah dan pusat-pusat pelayanan jasa lainnya. Perkembangan aktivitas ekonomi di DPP diharapkan dapat menimbulkan trickle down effect terhadap desa sedang dan tertinggal di sekitarnya.

Pemahaman tentang BUMDes

Organisasi ekonomi perdesaan menjadi bagian penting sekaligus masih menjadi titik lemah dalam rangka mendukung penguatan ekonomi perdesaan. Oleh karenanya diperlukan upaya sistematis untuk mendorong organisasi ini agar mampu mengelola aset ekonomi strategis di desa sekaligus mengembangkan jaringan ekonomi demi meningkatkan daya saing ekonomi perdesaan.

Dalam konteks demikian, BUMDes pada dasarnya merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa. Beberapa agenda yang bisa dilakukan antara lain: (i) pengembangan kemampuan SDM sehingga mampu memberikan nilai tambah dalam pengelolaan aset ekonomi desa, (ii) mengintegrasikan produk-produk ekonomi perdesaan sehingga memiliki posisi nilai tawar baik dalam jaringan pasar, (iii) mewujudkan skala ekonomi kompetitif terhadap usaha ekonomi yang dikembangkan, (iv) menguatkan kelembagaan ekonomi desa, (v) mengembangkan unsur pendukung seperti perkreditan mikro, informasi pasar, dukungan teknologi dan manajemen, prasarana ekonomi dan jaringan komunikasi maupun dukungan pembinaan dan regulasi.

BUMDes merupakan instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi. Pendayagunaan potensi ini terutama bertujuan untuk peningkatan kesejahteran ekonomi warga desa melalui pengembangan usaha ekonomi mereka. Disamping itu, keberadaan BUMDes juga memberikan sumbangan bagi peningkatan sumber pendapatan asli desa yang memungkinkan desa mampu melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal.

Badan Usaha Milik Desa adalah Lembaga Usaha Desa yang dikelola oleh Masyarakat dan Pemerintah Desa dalam upaya memperkuat perekonomi desa dan di bentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.
Ciri Utama BUMDes dengan Lembaga Ekonomi Komersil lainya,sebagai berikut :
1. Badan Usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelolah bersama;
2. Modal bersumber dari desa sebesar 51% dan dari masyarakat sebesar 49% melalui penyerataan modal (Saham atau andil);
3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya local;
4. Bidang usaha yang dijalankan berdasarkan pada potensi dan informasi pasar;
5. Keuntungan yang di peroleh di tunjukan untuk meningkatkan kesejaktraan anggota (Penyetara Modal ) dan masyarakat melalui kebijakan desa;
6. Difasilitasi oleh Pemerintah Propinisi,Pemerintah Kabupaten dan Pemerintahaan Desa;
7. Operasionalisasi di kontrol secara bersama oleh BPD,Pemerintah Desa dan Anggota);
BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal usaha BUMDes harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan BUMDes dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga. Ini sesuai dengan peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat penting untuk mempersiapkan pendirian BUMDes, karena implikasinya akan bersentuhan dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa (Perdes).

Tujuan Pendirian BUMDes

Empat tujuan pendirian BUMDes,diantaranya sebagai berikut :
1. Meningkatkan Perekonomian Desa
2. Meningkatkan Pendapatan Asli Desa
3. Meningkatkan Pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat
4. Menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa

Pendirian dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa adalah perwujudan dari pengelolaan ekonomi produksif desa yang dilakukan secara Koorperatif,Partisifatif,Emansipatif,Transparansi, Akuntabel dan Sustaniabel. Oleh karena itu perlu upaya serius untuk menjadikan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa dapat berjalan secara mandiri,efektif,efisien dan profesional.
Guna mencapai tujuan BUMDes dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan (Produktif dan Konsumtif) masyarakat melalui pelayanan barang dan jasa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (pihak luar Desa) dengan menempatkan harga dan pelayanan sesuai standar pasar. Artinya terdapat mekanisme kelembagaan yang disepakati bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi pedesaan disebabkan oleh usaha BUMDes.
Dinyatakan di dalam undang-undang bahwa BUMDes dapat didirikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Apa yang dimaksud dengan ”kebutuhan dan potensi desa” adalah:
1. Kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok;
2. Tersedia sumberdaya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama kekayaan desa dan terdapat permintaan dipasar;
3. Tersedia sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat;
4. Adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi.
Warga masyarakat yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi; BUMDes merupakan wahana untuk menjalankan usaha di desa. Apa yang dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan ekonomi desa seperti antara lain:
1. Usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis lainnya;
2. Penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa;
3. Perdagangan hasil pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan agrobisnis;
4. Industri dan kerajinan rakyat.
Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan (proteksi) atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam pembentukan BUMDes sebagai badan hukum yang berpijak pada tata aturan perundangan yang berlaku, serta sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Pengaturan

Landasan Dasar Hukum BUMDES

Pendirian BUMDes dilandasi oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No. 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Secara rinci tentang kedua landasan hukum BUMDes adalah:
1. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 213 ayat (1) “Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa”
2. PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa:
Pasal 78
1) Dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan Desa, Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi Desa.
2) Pembentukan Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
3) Bentuk Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbadan hukum.
Pasal 79
1) Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) adalah usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa.
2) Permodalan Badan Usaha Milik Desa dapat berasal dari:
a) Pemerintah Desa;
b) Tabungan masyarakat;
c) Bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota;
d) Pinjaman; dan/atau
e) Penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan.
3) Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa terdiri dari Pemerintah desa dan masyarakat.

Pasal 80
1) Badan Usaha Milik Desa dapat melakukan pinjaman sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan BPD.

Pasal 81
1) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Pembentukan dan
2) Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
4) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
1. Bentuk badan hukum;
2. Kepengurusan;
3. Hak dan kewajiban;
4. Permodalan;
5. Bagi hasil usaha atau keuntungan;
6. Kerjasama dengan pihak ketiga;
7. Mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban.

3. Permendagri No. 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mengatur tentang Tata Cara Pembentukan, Pengelolaan, Pembinaan dan Pengawasan BUMDes. Permendagri ini menjadi landasan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun tentang Pedoman Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan BUMDes. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Permendagri ini sekurang-kurangnya memuat bentuk organisasi, kepengurusan, hak dan kewajiban, permodalan, bagi hasil usaha, keuntungan dan kepailitan, kerjasama dengan pihak ketiga, mekanisme pertanggung jawaban, pembinaan dan pengawasan masyarakat.


Perencanaan dan Pendirian BUMDES
Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya,maka BUMDes dibangun atas prakarsa (inisiasi) masyarakat, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, (‘user-owned, user-benefited, and user-controlled’), transparansi, emansipatif, akuntable, dan sustainable dengan mekanisme member-base dan self-help. Dari semua itu yang terpenting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional dan mandiri.

BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial institution). BUMDes sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu ditekankan. BUMDes sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing desa. Pengaturan lebih lanjut tentang BUMDes diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Sebagaimana dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa tujuan pendirian BUMDes antara lain dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADesa). Oleh karena itu, setiap Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Namun penting disadari bahwa BUMDes didirikan atas prakarsa masyarakat didasarkan pada potensi yang dapat dikembangkan dengan menggunakan sumberdaya lokal dan terdapat permintaan pasar. Dengan kata lain, pendirian BUMDes bukan merupakan paket instruksional yang datang dari Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten. Jika yang berlaku demikian dikawatirkan BUMDes akan berjalan tidak sebagaimana yang diamanatkan di dalam undang-undang. Tugas dan peran Pemerintah adalah melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat desa melalui pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten tentang arti penting BUMDes bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui pemerintah desa masyarakat dimotivasi, disadarkan dan dipersiapkan untuk membangun kehidupannya sendiri. Pemerintah memfasilitasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan lainnya yang dapat memperlancar pendirian BUMDes. Selanjutnya, mekanisme operasionalisasi diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat desa. Untuk itu, masyarakat desa perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat menerima gagasan baru tentang lembaga ekonomi yang memiliki dua fungsi yakni bersifat sosial dan komersial. Dengan tetap berpegang teguh pada karakteristik desa dan nilai-nilai yang hidup dan dihormati. Maka persiapan yang dipandang paling tepat adalah berpusat pada sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap peningkatan standar hidup masyarakat desa (Pemerintah Desa, BPD, tokoh masyarakat/ketua suku, ketua-ketua kelembagaan di pedesaan).

Melalui cara demikian diharapkan keberadaan BUMDes mampu mendorong dinamisasi kehidupan ekonomi di pedesaan. Peran pemerintah desa adalah membangun relasi dengan masyarakat untuk mewujudkan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM), sebagai bagian dari upaya pengembangan komunitas (development based community) desa yang lebih berdaya.