Pengelolaan SDA Berbasis Masyarakat


Sumber Daya Alam (SDA) adalah potensi sumber daya yang terkandung dalam bumi, air dan dirgantara yang dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kepentingan pertahanan negara. Menurut Garreth Hardyn, merujuk pada teori Common of Property-nya, sebetulnya sumber daya alam yang ada di bumi ini, merupakan sumber daya yang bebas, dan terbuka buat siapa saja serta dapat di miliki bersama. Dan untuk pengelolaannya, setiap individu dapat mengambil bagian dan akan berusaha memaksimalkan keuntungan yang didapat dari pengelolaan sumber daya alam tersebut. Tidak ada aturan yang menghalangi siapapun, untuk mengeksloitasi sumber daya alam tersebut secara maksimal. Akibat dari pandangan ini, maka apabila semua orang memiliki kecenderungan dan berupaya untuk memaksimalikan pemanfaatan sumber daya alam tersebut, maka sumber daya alam menjadi berkurang manfaatnya atau mengalami degradasi, bahkan dapat menyebabkan kepunahan atau terkuras habis. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya diperlukan dalam rangka menjaga dan mempertahankan agar pemanfaatan sumber daya alam tersebut tetap lestari atau berkesinambungan. Disinilah diperlukan suatu pengaturan dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem (UU 32/2009 Ps 1 (9).

Pada prinsipnya sumber daya alam dibagi menjadi dua yaitu SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui.Sumber daya alam yang dapat diperbaharui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan. Sumber daya alam ini harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui itu contohnya barang tambang yang ada di dalam perut bumi seperti minyak bumi, batu bara, timah dan nikel. Kita harus menggunakan SDA ini seefisien mungkin. Sebab, seperti batu bara, baru akan terbentuk kembali setelah jutaan tahun kemudian. Sumber daya ala ini harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memberikan nilai optimal dari sumber daya yang bersangkutan.

Selain pembagian kedua jenis sumber daya di atas, sumber daya alam juga dapat dibagi menjadi dua yaitu SDA hayati dan SDA non-hayati.
Sumber daya alam hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk hidup (biotik), seperti: hasil pertanian, perkebunan, pertambakan dan perikanan.
2. Sumber daya alam non-hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk tak hidup (abiotik), seperti: air, tanah, barang-barang tambang.
Dalam kerangka pemanfaatan sumber daya alam, PKSPL (1998) memberikan pertimbangan yang harus diperhatikan agar dalam pemanfaatan sumber daya alam memberikan manfaat yang optimal, yaitu pemanfaatan sumber daya yang optimal dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan apabila dilaksanakan secara bijaksana, dalam arti bahwa dalam pemanfaatan suatu sumber daya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya lainnya, atau paling tidak menimbulkan dampak seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai apabila:
1. Pemanfaatan sumber daya tidak dapat pulih (seperti pertambangan dan industri) dan pemanfaatan jasa-jasa lingkungan (seperti perhubungan) yang memiliki potensi yang dapat mengganggu sumber daya pulih dilakukan dengan jaminan bahwa pembangunan tersebut tidak mengganggu atau bahkan mematikan kegiatan dan keberadaan sumber daya pulih.
2. Pemanfaatan sumber daya tidak pulih maupun pemanfaatan jasa-jasa lingkungan diharapkan dapat memberikan nilai tambah atau akses terhadap pembangunan sumber daya pulih.

Konsep Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat

Pengelolaan adalah sebagai suatu proses pemeliharaan dan peningkatan lingkungan alam, dan pencegahan kerusakan lingkungan alam, sementara pada saat yang sama mempertahankan kehidupan manusia dan pembangunan ekonomi (Tahir, 2002). Sementara itu dalam UU No. 27 Tahun 2007 pengertian pengelolaan adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam adalah upaya terpadu dalam mengelola sumber daya alam yang meliputi kegiatan inventarisasi, perencanaan, ketersediaan, pendayagunaan, perlindungan, pelestarian, pengawasan,pengendalian, dan pemulihan sumber daya alam. Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai saat ini mendapat banyak perhatian, terutama Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Sampai saat ini persepsi dari PBM masih bervariasi, namun ada kesepakatan persaaaman pandangan bahwa dalam pengelolaan peran masyarakat menjadi kunci utama.

Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM) menurut Nikijuluw (1994) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam, misal perikanan, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional, dimana akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya.

Carter (1996) memberikan definisi Community-Based Resource Management sebagai “Suatu startegi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengembilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan disuatu daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di Daerah tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.

Pomeroy dan Williams (1994) mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management atau disingkat dengan Co-Management. Co-Management didefinisakan sebagai pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumber daya lokal (masyarakat) dalam mengelolah sumber daya alam seperti perikanan, terumbu karang, mangrove dan lain sebagainya. Dalam Co-Management ini, pihak masyarakat dan pemerintah dihubungkan sehingga dimungkinkan terjadi interaksi baik berupa konsultasi maupun penjajakan awal apabila misalnya, pemerintah akan menetapkan peraturan pengelolaan sumber daya alam di suatu wilayah. Dalam konteks ini masyarakat (the community) disefinisikan sebagai sekolompok orang-orang yang memiliki fungsi moraltertentu seperti kebaikan, pekerjaan, tempat tinggal, agama dan nilai-nilai (Renard, 1991, dalam White,1994) dalam konsep Co-Management , masyarakat lokal merupakan parner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stake-holders lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam disuaitu kawasan.

Jadi dalam Co-Management, bentuk pengelolaan sumber daya alam berupa cooperative dari 2 pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (government centralized managenent) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community based management). Kedua pendekatan pengelolaan tersebut masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan yang apabila tidak disiasati dengan baik akan menimbulkan kesalahan pengelolaan yang pada akhirnya akan bermuara pada pengrusakan lingkungan.

Hirarki dari kedua pendekatan pengelolaan lingkungan dimana untuk government centralized managenent hirarki tertinggi adalah hanya memberikan informasi (informing) kepada masyarakat dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah. Sedang pada tatanan community based management hirarki tertinggi adalah kontrol yang ketat dari masyarakat atau koordinasi antar area yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Antara kedua hirarki teratas dari kedua pendekatan terdapat tatanan kegiatan yang menunjukan tingkat kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat. Posisi konsep Co-management dalam hal ini ada jembatan antara kegiatan-kegiatan yang government centralized managenent dengan kegiatan-kegiatan dari community based management. Dengan demikian pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan konsep Co-management ini diterapkan akan mampu mencapai tatanan hubungan kerjasama (cooperation), komunikasi (communication) sampai pada hubungan kemitraan (partnership).

Peran Pengelolaan Berbasis Masyarakat Bagi Penurunan Kemiskinan dan 
Konservasi Sumber Daya Alam

Pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat (community based natural resources management) dapat dijadikan sebagai sebuah strategi pengelolaan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, memproteksi dan melindungi sumber daya alam, dan mempromosikan tata kelola yang baik dan desentralisasi pengelolaan sumber daya alam (Danida, 2007).  

Upaya pengentasan kemiskinan memiliki keterkaitan dengan konservasi sumber daya alam, sebab masyarakat miskin/lokal (khususnya di negara-negara berkembang) sangat tergantung pada sumber daya alam untuk sumber penghidupan atau mata pencaharian mereka. Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk menjamin pengelolaan berkalanjutan dari sumber daya alam tersebut. Apabila sumber daya alam yang menjadi tumpuan sumber penghidupan masyarakat mengalami kerusakan atau degradasi akan berdampak pada kehidupan masyakarat lokal. Efektifitas dan keseimbangan pengelolaan sumber daya alam dan konservasi membutuhkan keterlibatan dari berbagai aktor sosial yang memiliki tergantung pada sumber daya tersebut. Pelibatan masyarakat miskin/lokal dalam pengelolaan sumber daya alam sering memberikan pencapaian terbaik melalui desentralisasi dari kewenangan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) masyarakat lokal lebih mudah mengidentifikasi dan memprioritaskan permasalahan lingkungan yang terjadi di sekitar mereka, (2) alokasi sumber daya lebih efisien dan transaksi biaya lebih rendah ketika keputusan dibuat secara lokal, (3) kelompok/kelembagaan lokal lebih respek manakala terlibat dalam pengambilan keputusan, dan (4) pemantauan penggunaan sumber daya alam dapat diperbaiki.

Pilar Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat
Pengelolaan sumber daya alam adalah sebuah proses desentralisasi yang bertujuan untuk memberikan kewenangan pengelolaan kepada kelembagaan lokal untuk mengontrol pengelolaan sumber daya mereka. Seperti dinyatakan oleh Seshia (2002) sifat dari proses desentralisasi pengelolaan sumber daya alam memiliki implikasi yang substansial dalam mengakses sumber daya oleh masyarakat lokal khususnya pada masyarakat yang mewakili kepentingan dari masyarakat lokal secara luas. 
Strategi pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat didefenisikan sebagai keterlibatan masyarakat untuk mempromosikan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya alam selama masyarakat yang bergantung pada sumber daya tersebut mendapatkan manfaat. Hal ini upaya untuk menstranformasikan modal sumber daya alam menjadi nilai ekonomi dan berkontribusi terhadap berbagai matapencaharian dan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam. Mansur dan Cuco (2001) mempertimbangkan 4 pilar dari pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat, yaitu pengembangan kapasitas (capacity building), peningkatan pendapatan (income generation), kelembagaan masyarakat (community organization), dan pemberdayaan (empowerment).

Dukungan Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Masyarakat
Ada 3 tingkatan intervensi yang dapat dilakukan terhadap pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, yaitu pada tingkat nasional, provinsi/kota/kabupaten, dan local/desa (Gambar 2-4). Pada tingkat nasional dukungan terhadap pengembangan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat menyangkut masalah dukungan politik dan kerangka kerja hokum sebagai pijakan atau dasar hukum dalam implementasi kebijakan pengelolaan berbasis masyarakat. Pada tingkat provinsi/kabupaten/kota, dukungan terhadap pengembangan pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat, dapat dilakukan dengan menghubungkan program-program pengelolaan berbasis masyarakat dengan sector public, guna membantu pengembangan program pengelolaan berbasis masyarakat. Adapuan pada tingkat local, pendelegasian atau desentralisasi pengelolaan dan kewenangan kepada masyarakat dapat dilakukan guna mendukung pengembangan pengelolaan berbasis masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendukung pengembangan pengelolaan sumber alam berbasis masyarakat adalah (1) pengembangan kebijakan nasional tentang pengelolaan berbasis masyarakat, dan (2) penkondisian kerangka kerja legal sebagai pedoman bagi pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat. Pada tingkat upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung pengembangan pengelolaan berbasis masyarakat adalah menyediakan insentif ekonomi bagi masyarakat, mempromosikan upaya untuk mengurangi kemiskinan dan mendukung program konservasi sumber daya alam.

Prinsip-Prinsip Pengelolaan berbasis Masyarakat
Terdapat beberapa prinsip dasar dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat (Tulungan et al., 2003). Prinsip-prinsip tersebut adalah:

  1. Pemberdayaan dan Pembangunan Kapasitas. Pemberdayaan merupakan pengembangan kemampuan untuk melakukan kontrol pengelolaan terhadap sumber daya dan lembaga demi meningkatkan kesejahteraan dan menjamin pemanfaatan sumber daya alam secara. Melaui pemberdayaan, akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya, dan kesempatan untuk bertambahnya manfaat ekonomi di sekitar wilayah mereka akan lebih besar. Pengelolaan sumber daya yang berhasil oleh lembaga-lembaga pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat dapat juga memberikan kontribusi terhadap pengakuan kepada lembaga tersebut sebagai mitra yang sah dalam pengelolaan sumber daya. Pemberdayaan juga merupakan usaha membangun kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk secara efisien dan efektif mengelola sumber daya mereka secara berkelanjutan. Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk membangun kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan sehingga masyarakat memiliki akses yang adil dalam pengelolaan sumber daya alam. Pembangunan kapasitas adalah pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, dan pengembangan kelembagaan, dimana pendidikan lingkungan hidup dan konservasi adalah bagian penting dalam pengembangan kapasitas. Pendidikan lingkungan hidup dan konservasi membantu dalam membangun pemahaman bersama mengenai aspek-aspek lingkungan hidup dan peranannya secara timbal balik dalam pengelolaan sumber daya alam.
  2. Pengakuan Terhadap Kearifan dan Pengelolaan TradisionalDi beberapa daerah di Indonesia telah terdapat praktik pengelolaan sumber daya secara tradisional yang murni dari masyarakat, dan sudah berlangsung secara turun-temurun seperti Sassi di Maluku, Mane’e di Talaud, serta Labuang di Talise, Minahasa. Kegiatan pengelolaan tradisional ini berisi aturan dan sanksi yang diterapkan oleh sekelompok masyarakat yang sudah berjalan dalam suatu periode waktu yang lama secara turun-temurun dan diterima oleh anggota masyarakatnya. Kegiatan ini disebut “tradisi” karena biasanya praktikpraktik seperti ini tidak mendapatkan sanksi dan legitimasi hukum dari pemerintahan atau pengelolaan dan hukum modern. Namun demikian, kegiatan tradisi ini diterima, diikuti, dan diakui oleh anggota masyarakat tersebut. Praktek pengelolaan seperti ini, selain mendapat legitimasi dari anggota masyarakat setempat, juga berakar dari kegiatan-kegiatan budaya dan keagamaan setempat yang terbentuk dan berkembang tanpa adanya campur tangan secara formal kelembagaan pemerintahan modern dari luar. Praktik-praktik tradisional ini umumnya merupakan sistem pengaturan yang diberlakukan kepada kelompok atau anggota kelompok tertentu mengenai hak penggunaan sumber daya alam, cara dan jenis yang ditangkap atau dipanen, jenis alat yang digunakan, atau saat panen dalam satu waktu tertentu.
  3. Perbaikan Hak Masyarakat Lokal.Perbaikan hak-hak atas sumber daya adalah masyarakat memperoleh atau memastikan akses dan kontrol pengelolaan terhadap sumber daya yang produktif. Ha ini disebut juga klarifikasi untuk memperjelas hak-hak penggunaan masyarakat atau hak-hak kepemilikan masyarakat. Pelaksanaannya dikenal dengan jalan melembagakan akses dan kontrol pengelolaan melalui kebijakan atau undang-undang di tingkat nasional atau lokal. Hal ini dapat secara luas dicapai melalui pengorganisasian masyarakat yang efektif serta kegiatan advokasi kebijakan.
  4. Pembangunan Berkelanjutan. Setiap kegiatan yang dijalankan harus memperhatikan pemulihan fungsi ekosistem dan sumber daya sehingga pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mempertimbangkan kelestarian sumber daya yang ada. Dengan demikian, sumber daya tersebut dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Di sisi lain, pembangunan yang berkelanjutan berarti secara serius mempertimbangkan keadaan alami lingkungan sambil mengejar pengembangan ekonomi yang tidak membahayakan kesejahteraan generasi yang akan datang.
  5. Akuntabel dan Transparan. Mekanisme kegiatan ditetapkan secara transparan, demokratis, dapat dipertanggungjawabkan, menjamin kesejahteraan masyarakat, serta memenuhi kepastian hukum, dan dijalankan oleh pemerintah, masyarakat, sektor swasta, serta berbagai pihak lain yang berkepentingan.
  6. Pengembangan Mata Pencaharian. Pengembangan mata pencaharian alternatif dimaksudkan untuk menciptakan sumber pencaharian bagi masyarakat guna mengurangi tekanan terhadap sumber daya secara tidak terkendali. Pengembangan mata pencaharian dapat berupa memperkenalkan mata pencaharian baru atau pengembangan serta perbaikan mata pencaharian yang sudah ada.
  7. Keadilan. Prinsip keadilan berkaitan dengan prinsip pemberdayaan, yaitu adanya kesamaan akses terhadap kesempatan di antara masyarakat dan kelompok. Melalui pengelolaan berbasis masyarakat, juga dapat dipastikan adanya keadilan antara generasi masa sekarang dan generasi yang akan datang, yang diwujudkan dengan menyediakan mekanisme tepat untuk perlindungan dan pelestarian sumber daya alam bagi pemanfaatan di masa yang akan datang.
Strategi Pemanfaatan SDA dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan sumber daya alam tidak terlepas dengan pengelolaan lingkungan karena saling terkait. Untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam dibutuhkan startegi dalam pengelolaannya sebagai berikut :
1. Setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan harus didasari pendekatan ekosistem atau dengan perkataan lain pembangunan yang berwawasan lingkungan (sustainable development), tidak meninggalkan keberadaan masyarakat setempat (community based development) dan tetap memberikan peluang pertumbuhan ekonomi regional (regional economic development).
2. Pemeliharaan dan pemanfaatan potensi sumber daya alam yang dapat diperbaharui (hutan, lahan, perairan) melalui pembangunan kehutanan, pertanian, perikanan secara berkelanjutan.
3. Pemanfaatan sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui secara strategis, melalui perlindungan kualitas lingkungan, dan penyiapan kegiatan ekonomi alternatif pasca pemanfaatan.
4. Perlu dilakukan upaya untuk inventarisasi dan pengelolaan sumber daya alam di masing-masing wilayah melalui pelibatan peran serta swasta dan masyarakat (sektor publik), khususnya dalam rangka pengelolaan, sedangkan pengawasan dan pengendalian tetap pada kewenangan pemerintah. Pengelolaan yang berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam perlu dilakukan untuk peningkatan taraf hidup masyarakat secara umum.
5. Pemanfaatan ruang di kawasan sumberadaya alam diarahkan pada:
- Kegiatan ekonomi yang tetap memperhatikan kelestarian ekosistem dan lingkungan kawasan lindung.
- Kegiatan pariwisata yang selaras dengan kegiatan perikanan/nelayan yang mengoptimalkan potensi lestari perikanan yang dimiliki.
- Kegiatan pemanfaatan potensi lestari yang dimiliki dengan tidak atau meminimalkan kemungkinan pengrusakan ekologi (mangrove), terlebih jika kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan lindung.
- Usaha pemanfaatan potensi sumber daya mineral yang memperhatikan kemungkinan dampaknya bagi lingkungan sekitar dan pengaruhnya bagi kegiatan lain (pariwisata, pertanian, dan perikanan).

Pendekatan SDM dalam Pengelolaan SDA berbasis Masyarakat
Pengembangan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu bersifat struktural dan non struktural. Pendekatan struktural adalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sistem dan struktur sosial politik, yang mengutamakan peranan instansi yang berwewenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan sumber daya alam. Pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif, mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan sumber daya alam.
1. Pendekatan struktural.
Pendekatan struktural memiliki sasaran, yaitu tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, termasuk sumber daya alam, komponen sosial, ekonomi dan fisik. Penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain itu penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan ekonomi diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Langkah-langkah dari pendekatan struktural adalah (1) pengembangan aksesibilitas masyarakat pada sumber daya alam; (2) pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan; (3) peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi; (4) pengembangan kapasitas kelembagaan; (5) pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat; (6) pengembangan jaringan pendukung.

Pendekatan Subyektif.
Pendekatan subyektif atau non struktural adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Asumsi dari pendekatan ini masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam di sekitarnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumber daya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi.

Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan Konsep CBM
Banyak studi menunjukkan masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati alami. Sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem-sistem pengelolaan berbeda satu sama lain yang ditentukan oleh kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Umumnya mempunyai sistem pengetahuan dan pengelolaan sumber daya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun.
Keberagaman sistem-sistem lokal yang telah berjalan dapat ditarik beberapa prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain:
a. Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya;
b. Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di sebagian besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga) sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar;
c. Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (‘pemerintahan’) adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumber daya;
d. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas;
e. Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat adat selama ratusan tahun, sehingga prinsip-prinsip ini pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan.
Kearifan tradisional masyarakat adat, seperti Sasi di Pulau Haruku, Maluku Tengah; Ola Nua di Lamalera, Nusa Tenggara Timur; Mane'e di Sulawesi Utara; Awig-awig di Nusa Tenggara Barat; Semah Laut di Pulau Bengkalis, Riau; Parompong di Sulawesi Selatan; dan Panglima Laot di Nanggroe Aceh Darussalam, menyimpulkan adanya keterhubungan antara manusia dan alam. “Keterhubungan ini mengandaikan pentingnya merekonstruksi paradigma pembangunan ekonomi yang telah dijalankan. Saat ini, ekspansi pembangunan tak lagi menempatkan bumi, air, dan udara beserta sumber daya alam yang dikandungnya demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
1. Sasi Maluku
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumber daya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat.
a. Dasar Hukum dan Kelembagaan
Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; di Haruku disebut Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui, atau "Saniri Lengkap Negeri Haruku"). Keputusan kerapatan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan peraturan sasi tersebut. Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa ini. Struktur kepengurusannya adalah sebagai berikut:
- Seorang Kepala Kewang Darat;
- Seorang Kepala Kewang Laut;
- Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
- Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
- Seorang Sekretaris
- Seorang Bendahara
- Beberapa orang Anggota.
Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban: (a) mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar; (b) melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya; (c) menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi; (d) memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta (e) menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.
b. Jenis Jenis Sasi
Di negeri Haruku, dikenal empat jenis sasi, yaitu:
1) Sasi Laut;
- Batas-batas sasi laut adalah mulai dari sudut Balai Desa bagian utara, 200 meter ke laut arah barat dan ke selatan sampai ke Tanjung Wairusi.
- Batas sasi untuk ikan lompal di laut: mulai dari labuhan Vetor, 200 meter ke laut arah barat dan ke selatan sampai ke Tanjung Hi-i.
- Terlarang menangkap ikan yang berada dalam daerah sasidengan menggunakan jenis alat tangkap apapun, terkecuali dengan jala, tetapi harus dengan cara berjalan kaki dan tidak boleh berperahu. Persyaratan bagi orang yang mempergunakan jala adalah hanya pada batas kedalaman air setinggi pinggang orang dewasa.
- Daerah labuhan bebas adalah mulai dari sudut Balai Desa bagian utara sampai ke Tanjung Waimaru. Pada daerah labuhan bebas ini, orang boleh menangkap ikan dengan jaring, tetapi tidak boleh bersengketa. Jika ternyata ada yang bersengketa, maka labuhan bebas akan disasi juga.
- Bila ada ikan lompa yang masuk ke daerah labuhan bebas, maka dilarang ditangkap dengan jaring.
- Pada daerah sasi maupun pada daerah labuhan bebas, dilarang menangkap ikan dengan mempergunakan jaring karoro.
2) Sasi Kali;
- Batas-batas sasi di kali dimulai dari muara Wai Learisa Kayeli ke Wai Harutotui; muara Wai Learisa Kayeli sampai Air Kecil.
- Apabila ikan lompa sudah masuk ke kali, dilarang diganggu ataupun ditangkap, walaupun terdapat jenis ikan lain yang masuk bersama dengan ikan lompa tadi ke dalam kali.
- Pada waktu pembukaan sasi ikan lompa, dilarang membersihkan ikan di dalam kali atau membuang kepala ikan lompa yang diputuskan ke dalam kali.
- Terlarang mencuci bahan dapur berupa piring piring kotor, dan sebagainya, di dalam kali.
- Terlarang orang laki-laki mandi bercampur dengan orang perempuan, tetapi harus pada tempatnya masing-masing yang diatur sebagai berikut:
3) Sasi Hutan;
- Terlarang orang mengambil buah-buahan yang muda seperti nenas, kenari, cempedak, durian, pinang, dll.
- Terlarang orang menebang pohon pinang yang sedang berbuah atau menebang pohon buahbuahan lainnya untuk membuat pagar.
- Terlarang orang memotong atap atau pelepah saguyang masih muda (hahesi) sebelum mendapat izin dari pemiliknya dan juga dari Kewang.
4) Sasi dalam Negeri.
- Terlarang orang membuat gaduh dan ribut-ributan di malam Minggu.
- Acara di malam hari berupa pesta, dll., harus mendapat izin dari Saniri Negeri.
- Terlarang orang ke laut memancing (taba) ikan pada hari Minggu, mulai jam 17.00 sampai dengan jam 19.00 WIT.
- Terlarang orang ke hutan pada hari Minggu, kecuali ada keperluan yang sangat penting atau pada musim cengkeh, tetapi harus mendapat izin dari Kewang.
- Terlarang orang menjemur atap, membakar rumput, tempurung, dll., di jalan raya.
- Terlarang orang menjemur pakaian di atas pagar.
- Terlarang orang membuang rumput dan air besar di dalam kali.
- Rumput-rumput harus dibuang sekurang kurangnya 4 meter dari tepi kali dan pada tempat yang telah ditentukan oleh Kewang.
- Terlarang semua orang perempuan, sewaktu pulang dari kali, hanya memakai kain sebatas dada.
- Terlarang orang laki-laki berkain sarung di siang hari, kecuali yang sakit, serta tidak boleh memakai deker atau salele handuk dan berkeliaran di jalan raya.
- Terlarang orang perempuan memanjat pohon di dalam desa kecuali dengan pakaian yang pantas.
- Daerah Kolam Jawa dinyatakan tertutup dan dilindungi serta dijaga agar tidak dirusakkan oleh siapapun.
- Bagi mereka yang melanggar peraturan sasi ini, akan dikenakan sanksi
2. Penglima Laot Aceh
Panglima Laot merupakan suatu institusi Adat yang mengatur tentang tata cara meupayang/penangkapan ikan di laut. Panglima Laot selain sebagai institusi juga sebagai seorang ketua lembaga itu sehingga orang menyebut mereka sebagai Panglima Laot. Menurut sejarahnya panglima laot telah ada sejak 400 tahun yang lalu, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang memerintah kerajaan Islam Aceh. Saat itu Panglima Laot bertugas, pertama, memungut cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan dan kedua, memobilisasi rakyat terutama nelayan untuk berperang.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dimana kerajaan sudah dileburkan kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tugas panglima laot mulai bergeser menjadi mengatur tata cara penangkapan ikan di laut, bagi hasil dan tata cara penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran dilaut. Tetapi dari masa itu sampai dengan tahun 1982, panglima laot masih berdiri secara sendiri-sendiri sesuai dengan wilayah masing-masing, baik di desa, mukim ataupun kecamatan atau dikenal dengan Panglima Laot Lhok/kuala/dermaga tempat boat di tambat. Saat itu panglima laot belum begitu dikenal oleh orang banyak.
Tahun 1982, di Kota Langsa, Aceh, di gelar suatu pertemuan antar panglima laot lhok se Aceh. Pertemuan ini kemudian menyetujui pembentukan Panglima Laot kabupaten. Panglima laot kabupaten diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar 2 panglima laot lhok yang tidak dapat diselesaikan oleh panglima laot lhok tetapi bukan sifatnya banding seperti pengadilan biasanya.
Pada tahun 2000, di Banda Aceh dan Sabang dilaksanakan pertemuan serupa. Pertemuan-pertemuan itu menyepakati ada satu Panglima Laot lagi di tingkat provinsi. Maka dibentuklah Panglima Laot Aceh. Sejak di bentuk, panglima laot Aceh diberi tugas untuk mengkoordinasikan hukum adat laot, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan kelautan dan perikanan termasuk advokasi hukum dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan Aceh termasuk bagi nelayan yang terdampar.
Pasca tsunami 24 Desember 2004, tahun 2006 panglima laot mendapat pengakuan Undang-undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (pasal 98 – 99 dan pasal 162 ayat (2) huruf e), kemudian Undang-undang tersebut dijabarkan kedalam Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Pada tahun yang sama panglima laot diterima menjadi anggota World fisher forum people (WFFP) pada tahun 2008.
a. Visi dan Misi
VISI : Panglima Laot tetap sebagai lembaga menegakkan hukom adat laot yang independen dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat nelayan Aceh

MISI :
- Mengaktualisasikan dan melestarikan hukom adat laot (penegakan hukom adat laot dan revitalisasi hukom adat laot)
- Melakukan pemberdayaan lembaga panglima laot dari lhok, kabupaten/kota dan provinsi
- Mengembangkan kualitas hidup masyarakat nelayan (ekonomi, pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana dan kenyamanan hidup).
b. Wewenang
- Menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang termasuk menentukan bagi hasil dan hari-hari pantang melaut ;
- Menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi di kalangan nelayan;
- Menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar Panglima Laot lhok atau nama lain; dan
- Mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot, peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan perikanan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.
c. Tugas Panglima Laot yakni :
- Melaksanakan, memelihara dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat laot;
- Membantu Pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan;
- Menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi diantara nelayan sesuai dengan ketentuan hukum adat laot;
- Menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan laut;
- Memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan; dan
- Mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal ;
- Memberikan advokasi kebijakan kelautan dan perikanan serta memberikan bantuan hukum kepada nelayan yang terdampar di negara lain; dan
- Mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot.
d. Fungsi Panglima Laot antara lain :
- Sebagai ketua adat bagi masyarakat nelayan;
- Sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat nelayan; dan c
- Sebagai mitra Pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan perikanan dan kelautan.
3. Awig Awig di Bali
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).
Salah satu contoh penarapan Awig-awig adalah pengelolaan sumber daya perikanan pantai yang ada di Nusa Penida. Awig-awig tersebut merupakan aturan turun temurun yang tertulis dalam tulisan Kawi atau Jawa Kuno pada daun lontar, kemudian diterjemahkan ke dalam tulisan latin dengan menggunakan Bahasa Bali pada Tahun 1982 menjadi 8 (delapan) bab dan 92 pasal.
Peraturan pemanfaatan dan pengelolaan pantai yang saat ini berlaku di Jungut Batu merupakan implementasi dari peraturan formal, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Isi dari aturan yang menyangkut pengelolaan sumber daya perikanan pantai ditetapkan oleh pemerintah desa, perangkat adat, dan tokoh-tokoh agama atau adat sebagai berikut :
a. Masyarakat Adat Desa Jungut Batu dilarang mengambil dan memanfaatkan kayu bakau untuk kepentingan apapun
b. Masyarakat Adat Desa Jungut Batu tidak diperkenankan mengambil batu karang karena dapat merusak ekosistem yang menyebabkan abrasi pantai dan merusak keindahan
c. Untuk kebutuhan pembangunan rumah tinggal, pengambilan pasir pantai dialokasikan di daerah tertentu di desa adat dengan sepengetahuan kepala adat
4. Awig-Awig di Lombok
a. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut di Lombok Barat
Masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan laut sejak Islam waktu telu. Hal tersebut tercermin dengan adanya kebiasaan adat istiadat yang disebut upacara adat sawen. Sawen adalah Bahasa Suku Sasak yang berarti tanda, isyarat atau larangan.
Dengan demikian, setiap wilayah laut yang di sawen sumber daya ikan lautnya tidak boleh ditangkap, sehingga sawen diartikan sebagai larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu zona dalam waktu yang sudah ditetapkan melalui kesepakatan masyarakat lokal.
Tujuan dilaksanakannya upacara adat sawen adalah agar ikan-ikan menjadi jinak sehingga akan tercapai hasil yang optimal. Aturan adat sawen dalam pengelolaan sumber daya perikanan merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun temurun dan tidak tertulis, namun masyarakat setempat sangat mematuhi aturan tersebut.
Sementara itu, seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka masyarakat Lombok Barat bagian Utara melakukan rekonstruksi dan revitalisasi aturan lokal (sawen) yang hilang. Adanya penguatan aturan lokal ini dipengaruhi oleh masalah pokok, yaitu konflik dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan laut. Adapun konflik itu sendiri dipengaruhi oleh kerusakan lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang makin sedikit, lingkungan politik legal, perubahan teknologi dan perubahan tingkat komersialisasi.
Wilayah yang diatur oleh awig-awig sejauh tiga mil dari garis pantai dan bersifat eksklusif, karena setiap kegiatan yang memanfaatkan sumber daya perikanan laut harus sesuai dengan aturan yang berlaku dan alat tangkap yang dipergunakan adalah alat tangkap tradisional. Sedangkan lembaga yang disepakati oleh masyarakat untuk menyelenggarakan awig-awig dalam pengelolaan sumber daya perikanan laut di Lombok Barat bagian Utara adalah Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU) sesuai dengan Surat Keputusan LMNLU Nomor 06/LMNLU/V/2000 dengan susunan pengurus yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi yaitu keamanan laut, kebersihan pantai, kesejahteraan sosial, serta konservasi dan rehabilitasi.
b. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut di Lombok Timur
Di Kabupaten Lombok Timur juga dikenal awig-awig dalam pengelolaan sumber daya perikanan laut berdasarkan Hukum Adat Lembaga Masyarakat Desa (LMD), tepatnya berlaku di Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur. Pada Tanggal 14 November 1994 lembaga desa ini telah mengeluarkan peraturan adat secara tertulis yang dituangkan dalam Keputusan Desa Nomor : 04/LMD/1994. Peraturan tersebut mengatur tentang :
- Batas dan jalur penangkapan ikan di Perairan Tanjung Luar.
- Sanksi terhadap pelanggaran batas dan jalur penangkapan ikan di Perairan Tanjung Luar.
Dasar pertimbangan dikeluarkan keputusan desa tersebut adalah :
- Demi keamanan, ketertiban dan kenyamanan para nelayan dalam menangkap ikan di Perairan Tanjung Luar.
- Sering terjadi pertikaian dan perkelahian di laut antara sesama nelayan tradisional, akibat kurang jelasnya pembatasan jalur antara nelayan yang setingkat lebih modern.
Keputusan desa tersebut dikenal dengan nama Awig-awig Pengaturan Jalur-jalur Penangkapan Ikan bagi Nelayan atau Awig-awig Jalur Laut. Adapun keputusan ini mengatur tentang adanya 4 (empat) jalur penangkapan ikan bagi para nelayan tradisional yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Penentuan jalur ini merupakan implementasi dari peraturan formal yang telah ditetapkan pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/KPTS/UM/1976 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan, yaitu:
- Jalur penangkapan I adalah perairan selebar 3 mil laut.
- Jalur penangkapan II adalah perairan selebar 3-6 mil laut.
- Jalur penangkapan III adalah perairan selebar 6-12 mil laut.
- Jalur penangkapan IV adalah perairan selebar 12 mil.
Hukum adat Awig-Awig di Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur ini kurang dipatuhi oleh masyarakat lokal, dikarenakan kurang dilibatkannya masyarakat dalam sistem kelembagaannya.

3. Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi
Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumber daya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Kegiatan perikanan dan pengambilan sumber daya lainnya merupakan hal terlarang dilakukan di dalam kawasan DPL. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan DPL diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa.
DPL dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, dan ekosistem padang lamun. Penetapan dan pengelolaan DPL ini dapat dilakukan melalui pembuatan Peraturan Desa (atau Kabupaten dan Kota) dalam rangka melindungi dan memperbaiki sumber daya pesisir dan perikanan di wilayah yang memiliki peranan penting secara ekologis. DPL merupakan salah satu metode efektif untuk mengatur kegiatan perikanan, melindungi tempat ikan bertelur, dan membesarkan larva, sebagai daerah asuhan juvenil (ikan kecil), melindungi suatu wilayah dari kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan, dan menjamin ketersediaan stok perikanan secara berkelanjutan. Pada Gambar 2-5, diilustrasikan bagaimana suatu kawasan DPL dapat ditetapkan berdasarkan kondisi dari pulau atau kawasan pesisir yang ada. Penetapan DPL pada sutau kawasan atau pulau dilakukan dengan melihat kondisi ekosistem pulau tersebut.

DPL berbeda dengan sistem pemanfaatan laut tradisional lainnya di Indonesia seperti “sasi”di Maluku dan “Mane’e” di Sangir Talaud, yang secara berkala memperbolehkan suatu kawasan dibuka untuk kegiatan penangkapan ikan. DPL haruslah ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan atau usaha pengambilan hewan laut lainnya. DPL tidak boleh dibuka secara musiman (meskipun misalnya hanya sekali setahun) karena dapat mengakibatkan DPL tidak berfungsi dengan baik dan efektif. Suatu kawasan terumbu karang yang tidak mengalami gangguan aktivitas manusia mempunyai kesempatan untuk kembali pada kondisi terumbu karang yang baik. Daerah seperti ini secara khusus memiliki tutupan karang yang tinggi dan dihuni oleh berbagai jenis dan ukuran ikan, termasuk pemangsa besar seperti hiu dan kerapu.

Kawasan yang belum pernah disentuh oleh aktivitas penangkapan ikan atau sangat jarang didatangi oleh nelayan memiliki banyak ikan dengan ukuran yang besar, termasuk yang berumur tua. Sebaliknya, kawasan yang secara terus-menerus diambil cenderung memiliki ikan dengan jumlah lebih sedikit dengan ukuran yang relatif kecil dan masih muda. Ukuran rata-rata ikan yang ditangkap di suatu kawasan dapat dijadikan indikator atau alat ukur laju eksploitasi ikan. Kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan terjadi jika ukuran ikan yang ditangkap dari tahun ke tahun semakin kecil. Tangkap lebih bisa juga disebabkan oleh terlalu banyaknya nelayan yang menangkap ikan, sedangkan stok ikan yang ada terbatas.

DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktivitas perikanannya sudah berlangsung lama dan penangkapan ikan dan aktivitas lainnya akan memberikan kesempatan bagi terumbu karang dan organisme laut lain yang sudah rusak untuk kembali hidup dan berkembang biak. Bibit berbagai jenis organisme laut yang dibawa oleh arus dari daerah sekitar DPL akan menetap dan berkembang biak di dalam kawasan yang dilindungi. Kawasan terumbu karang ini menyediakan tempat hidup dan makanan bagi organisme laut tersebut.

Pada dasarnya, DPL juga akan menarik ikan dari daerah yang berdekatan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak. Ikan-ikan kecil (juvenil) atau yang dikenal dengan “nener”, yang terbawa oleh arus, selanjutnya menetap di dalam kawasan DPL. Seiring dengan berjalannya waktu, juvenil tersebut mulai membesar sehingga jumlah ikan yang menetap di DPL menjadi semakin padat. Hal ini mengakibatkan ikan-ikan yang berkembang di wilayah DPL mulai berenang dan menetap di sekitar kawasan di luar DPL, yang pada akhirnya akan ditangkap oleh nelayan. Nelayan dapat terus menerus menangkap ikan di kawasan luar DPL karena adanya suplai ikan yang konsisten dari kawasan dalam DPL. Dengan demikian, DPL merupakan “bank ikan” yang membantu penambahan jumlah ikan di kawasan luar DPL.

DPL juga membantu meningkatkan populasi ikan di terumbu karang sekitarnya dengan menyediakan larva dan nener atau benur. Seringkali, ukuran ikan yang hidup di kawasan DPL lebih besar dibandingkan ikan sejenis yang hidup di kawasan penangkapan ikan. Ikan-ikan besar dan dewasa cenderung menghasilkan lebih banyak telur dan nener. Suatu kawasan DPL akan menghasilkan persediaan ikan yang nantinya akan menyebar dan membesar, bukan hanya di dalam DPL melainkan juga ke kawasan terumbu karang sekitarnya. Nener dan benih organisme laut lainnya dapat terbawa puluhan bahkan ratusan mil jauhnya dari lokasinya ditelurkan atau ditetaskan. Karena itu DPL tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya tetapi juga kepada masyarakat maupun terumbu karang yang berada jauh dari DPL.

b. Zonasi Kawasan DPL
Seperti halnya dengan kawasan konservasi lainnya, DPL juga memiliki zona inti, yaitu suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumber daya lainnya sama sekali tidak diperbolehkan. Begitu pula kegiatan yang dapat merusak terumbu karang di zona inti seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta penggunaan galah untuk mendorong perahu di atas terumbu karang juga dilarang. Aturan larang ambil (no take zone) sangat penting di zona inti. Namun demikian, keputusan pelarangan tersebut tergantung pada keinginan masyarakat sendiri. Kegiatan yang dapat diperbolehkan di zona inti antara lain berenang, snorkeling, atau menyelam untuk tujuan rekreasi. Kebanyakan DPL memiliki zona inti dan juga zona penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan, termasuk penangkapan ikan. Penangkapan yang diperbolehkan adalah yang menggunakan cara tradisional seperti memancing, memanah, dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba atau snorkeling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan secara komersial dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap dilarang dalam zona penyangga ini.
c. Landasan Pendirian DPL Pulau Sebesi
Pengelolaan sumber daya pesisir khususnya terumbu karang di Pulau Sebesi, terutama dilandasi oleh beberapa faktor, yaitu (1) semakin terbatasnya potensi sumber daya pesisir dan laut desa untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang berkelanjutan; (2) keinginan untuk memelihara fungsi lingkungan hidup dari ancaman pemanfaatan dan perusakan lingkungan pesisir dan laut dari masyarakat dan atau nelayan desa/luar desa. Hal ini menimbulkan kesadaran masyarakat Pulau Sebesi untuk melindungi sumber daya laut tersebut.

Beranjak dari analisis permasalahan di atas, masyarakat Pulau Sebesi berupaya mengembangkan program konservasi melalui implementasi DPL. Untuk lebih mengoptimalkan perlindungan sumber daya laut tersebut, maka perlindungan kawasan pesisir dan laut desa perlu dituangkan dalam suatu keputusan masyarakat desa, sebagai masyarakat sadar hukum dan sadar lingkungan hidup.
Setelah melalui tahap musyawarah, konsultasi, pertemuan-pertemuan, serta sosialisasi, maka aturan-aturan daerah perlindungan laut tersebut ditetapkan sebagai keputusan desa melalui suatu musyawarah umum masyarakat Pulau Sebesi. Keputusan Desa tersebut diusulkan kepada pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu Camat, Kabupaten dan Propinsi. Dengan demikian aspek legalitas tidak hanya dari masyarakat Pulau Sebesi saja, tetapi juga oleh pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi. Aspek legalitas ini sangat penting untuk menjadi bahan sosialisasi kepada amasyarakat luas, terutama masyarakat yang berdampingan dengan Pulau Sebesi untuk mendapatkan pengakuan akan adanya daerah perlindungan laut. Di dalam keputusan desa tersebut termuat beberapa hal, yaitu (1) pertimbangan dan aturan-aturan hukum yang mendasari pembentukan, (2) batas yurisdiksi pengelolaan, (3) tugas dan tanggungjawab pengelolaan, (4) kegiatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, (5) pendanaan, dan (6) sanksi dan pengawasan.

d. Proses Pendirian DPL Pulau Sebesi
Pengembangan DPL Pulau Sebesi dimulai pada tahun 2002, sebagai salah satu implementasi dari Rencana Strategis Pengelolaan Sumber daya Pesisir Provinsi Lampung. Pada saat itu, program DPL baru diimplementasikan di Desa Blongko, Sulawesi Utara. Meskipun konsep DPL bukanlah konsep baru dalam program konservasi, namun implementasinya di Indonesia masih merupakan hal yang baru. Oleh karena itu, pengembangan DPL Pulau Sebesi merujuk ke pengembangan DPL Desa Blongko. Tahapan yang dilakukan dalam pengembangan DPL di Lampung saat itu adalah memilih pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi. Dari hasil identifikasi pulau-pulau kecil di Provinsi Lampung saat itu diperoleh informasi jumlah pulau-pulau kecil yang ada sekitar 69 pulau. Karena jumlah PPK yang cukup banyak ini, maka digunakan kriteria pemilihan pulau sebagai lokasi implementasi DPL. Kriteria yang digunakan untuk memilih PPK adalah:
· Pulau tersebut merupakan pulau kecil yang berpenghuni atau berpenduduk
Pertimbangan kriteria ini adalah karena DPL yang akan dikembangkan merupakan DPL berbasis masyarakat, yang berarti pengelolaan DPL dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, pulau-pulau yang dipilih sebagai lokasi implementasi DPL harus memiliki penduduk yang nantinya menjadi pengelola DPL. Pengembangan DPL yang berada di sekitar pemukiman akan mudah dilakukan dibandingkan dengan DPL yang jauh dari pengawasan masyarakat.
· Kondisi terumbu karangnya relatif masih baik
Kualitas terumbu karang merupakan persyaratan utama yang digunakan dalam memilih lokasi untuk pengembangan DPL. Persyaratan kualitas terumbu karang yang digunakan persen penutupan karang hidup di atas 50 %. Lokasi yang memiliki kualitas terumbu karang yang jelek tidak direkomendasikan sebagai kawasan pengembangan DPL.
· Tingkat ketergantungan penduduk terhadap sumber daya cukup tinggi
Kriteria lainnya yang digunakan adalah keterkaitan masyarakat terhadap sumber daya pesisir. Masyarakat yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya pesisir akan memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi sumber daya tersebut. Hal inilah yang dijadikan salah satu alasan mengapa ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya dijadikan sebagai salah satu kriteria dalam pemilihan pulau untuk implementasi DPL.
· Keinginan masyarakat terhadap pengelolaan pesisir cukup tinggi
Keinginan masyarakat yang tinggi terhadap pengelolaan sumber daya pesisir juga menjadi kriteria dalam pemilihan pulau. Sama halnya dengan kriteria sebelumnya, kriteria ini juga diharapkan dapat menjadi penentu keberhasilan pengembangan DPL.
· Adanya dukungan dari pemerintah setempat.
Dukungan pemerintah daerah terhadap pulau terpilih merupakan kriteria terakhir yang digunakan dalam memilih pulau kecil sebagai lokasi implementasi DPL. Harapannya, agar pada saat pulau tersebut ditetapkan sebagai lokasi DPL, akan mendapatkan bantuan dan dukungan dari Pemerintah Daerah.
e. Pengelolaan DPL
Beberapa hal yang penting diuraikan terkait dengan pengelolaan DPL Pulau Sebesi adalah (1) Badan Pengelola, (2) hak dan kewajiban masyarakat Pulau Sebesi, (3) aturan dan larangan dalam pengelolaan DPL, (4) sanksi-sanksi yang ditetapkan bagi pelanggaran terhadap aturan DPL, dan (5) pengawasan.

1) Badan Pengelola
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut sehari-hari dilimpahkan kepada sekelompok orang yang dipilih dan ditetapkan oleh masyarakat Pulau Sebesi, yang disebut Kelompok Pengelola. Kelompok inilah yang bertanggungjawab dalam pengelolaan DPL. Untuk memperkuat landasan kerja, maka pembentukan kelompok pengelola ini disahkan dalam bentuk keputusan desa. Pada dasarnya tugas dari kelompok pengelola ini adalah bagaimana merencanakan, mengatur, dan mengontrol daerah perlindungan laut yang dilakukan bersama dengan masyarakat. Adapun tugas Kelompok Pengelola secara rinci adalah sebagai berikut:
- membuat perencanaan pengelolaan daerah perlindungan laut yang disetujui oleh masyarakat melalui keputusan bersama.
- bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berkelanjutan.
- mengatur, menjaga pelestarian dan pemanfaatan wilayah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat.
- melakukan pengawasan dan berhak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam keputusan ini.
- melaksanakan penyitaan, dan pemusnahan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama masyarakat.
2) Hak Dan Kewajiban Anggota Masyarakat
Oleh karena DPL merupakan sebuah model pengelolaan yang berbasis masyarakat, maka tanggungjawab pengelolaan DPL pada dasarnya adalah seluruh masyarakat desa Pulau Sebesi yang secara bersama-sama telah menetapkan kawasan pesisirnya sebagai kawasan yang harus dilindungi. Oleh karena itu, dibuat aturan-aturan yang mengatur aktivitas yang dapat dilakukan di dalam kawasan tersebut. Beberapa aturan yang telah disepakati oleh masyarakat adalah:
- Setiap penduduk desa wajib menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian wilayah pesisir dan laut yang dilindungi.
- Setiap penduduk desa dan atau kelompok mempunyai hak dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam perencanaan pengelolan lingkungan hidup di wilayah yang dilindungi.
- Setiap orang atau kelompok yang akan melakukan kegiatan dan atau aktivitas dalam Wilayah Perlindungan (Zona Inti), harus terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Kelompok Pengelola.
- Kegiatan yang dapat dilakukan dalam Wilayah yang dilindungi (Zona Inti), adalah kegiatan orang-perorang dan atau kelompok, yaitu penelitian, dan wisata, terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Kelompok Pengelola, dengan membayar biaya pengawasan dan perawatan, yang akan ditentukan kemudian oleh Kelompok Pengelola.
- Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Penyanggah, adalah pemanfaatan terbatas oleh nelayan, dengan terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari kelompok Pengelola.
3) Aturan atau Larangan
Semua bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan perusakan lingkungan dilarang dilakukan di wilayah pesisir dan laut yang sudah disepakati dan ditetapkan bersama untuk dilindungi (Zona Inti dan Zona Penyanggah). Pelarangan tersebut tidak hanya berlaku bagi penduduk yang berasal dari luar desa Pulau Sebesi tetapi juga penduduk dalam desa Pulau Sebesi itu sendiri. Secara rinci kegiatan atau aktivitas yang dilarang dilakukan pada kawasan yang dilindungi adalah sebagai berikut:
1. Hal-hal yang tidak dapat dilakukan / dilarang di Zona Inti, sebagai berikut :
- Melintas / menyeberang dengan menggunakan segala jenis angkutan laut,
- Pemancingan segala jenis ikan,
- Penebaran jala, jarring, soma, bubu dan sejenisnya,
- Penangkapan ikan dengan menggunakan alat pemanah, racun dan bahan peledak,
- Pengambilan teripang dan sejenisnya,
- Pengambilan karang hidup atau mati,
- Pengambilan kerang-kerangan dan atau jenis biota lainnya hidup atau mati,
- Membuang jangkar,
- Menggunakan perahu lampu,
- Berjalan di atas terumbu karang,
- Pengambilan patu, pasir dan kerikil,
- Penebangan segala jenis kayu bakau (posi-posi)
- Pengambilan ranting-ranting kayu baik yang hidup/utuh dan atau yang sudah mati,
- Penangkapan ikan dengan menggunakan alat pemanah, peracun dan bahan peledak.
2. Hal-hal yang tidak dapat dilakukan/dilarang di zona penyanggah, sebagai berikut:
- Melintasi/menyeberang dengan perahu yang menggunakan lampu atau cahaya lainnya
- Menangkap ikan dengan menggunakan peralatan modern, perahu pajeko, jaring (soma atau jala) cincin, soma paka-paka, muro-ami dan sejenisnya.
4) Sanksi-Sanksi
Sebagai konsekuensi dari aturan yang telah dibuat oleh masyarakat Pulau Sebesi dalam melindungi dan memelihara sumber daya pulau mereka, maka bagi penduduk yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi yang telah ditetapkan bersama oleh anggota masyarakat. Sanksi yang diberikan kepada penduduk yang melakukan pelanggaran dilakukan secara bertingkat. Yang dimaksud dengan bertingkat adalah bahwa seseorang yang melakukan pelanggaran secara berulang-ulang akan mendapatkan sanksi yang lebih berat. Dalam hal ini pelanggaran pertama akan dikenakan sanksi tingkat pertama, pelanggaran kedua akan dikenakan sanksi tingkat kedua dan seterusnya. Adapun tingkatan sanksi yang telah ditetapkan oleh masyarakat Pulau Sebesi adalah sebagai berikut:
- Barang siapa melakukan perbuatan melanggar ketentuan pada zona inti dan penyanggah dikenakan sanksi tingkat pertama berupa permintaan maaf oleh yang bersangkutan atau kelompok, sekaligus menyerahkan seluruh hasil perbuatan/ tindakan, seperti penangkapan ikan yang di konsumsi dan atau ikan hias, pengambilan kayu bakar atau ranting pohon bakau (mangrove/ posi-posi), kerang-kerangan, batu. pasir, kerikil dan lain-lain, harus dikembalikan ketempat asalnya dan atau dimusnahkan, dan berjanji tidak akan melakukan perbuatannya kembali, serta menandatangani surat pernyataan yang dibuat, dihadapan pemerintah desa, kelompok pengelola dan masyarakat.
- Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatannya yang kedua kalinya di dalam zona inti dan penyanggah dikenakan sanksi tingkat kedua yaitu sanksi seperti butir (1) di atas, ditambah dengan denda berupa sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Kelompok Pengelola, dan sekaligus penyitaan dalam tenggang waktu tertentu semua peralatan pemancingan, jala, perahu, parang, pisau, gergaji, alat pemotong dari mesin atau alat-alat lainnya yang dipergunakan untuk perbuatan yang dilarang dalam keputusan desa ini.
- Barang siapa denggan sengaja melakukan perbuatannya yang ketiga kalinya dalam zona inti dan penyanggah, dikenakan saksi tingkat ketiga yaitu saksi seperti butir (2) di atas, serta diwajibkan untuk melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan seluruh masyarakat desa, dan atau sanksi lain yang akan ditentukan kemudian oleh keputusan masyarakat dan pemerintah desa.
- Barang siapa dengan sengaja melakukan secara berulang-ulang kali, yaitu perbuatan yang melebihi tiga kali, maka dikenakan sanksi seperti pada butir (3) di atas, dan kemudian diserahkan kepada pihak kepolisian sebagai penyidik, untuk diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
5) Pengawasan
Untuk menjamin terlaksananya tujuan dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut ini, masyarakat menyadari perlunya melakukan pengawasan. Pengawasan ini tidak hanya mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran, namun lebih jauh sebagai bentuk dari kepedulian dan perhatian masyarakat terhadap sumber daya yang terdapat di wilayah laut mereka. Pelaksanaan pengawasan tidak hanya dilakukan oleh kelompok pengelola yang telah mereka bentuk tetapi juga oleh seluruh masyarakat Pulau Sebesi. Namun segala tindakan dan sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran akan diserahkan kepada kelompok Pengelola yang telah diserahi tugas. Sebagaimana disebutkan dalam Keputusan desa Pulau Sebesi, bahwa (1) Wilayah yang dilindungi adalah merupakan daerah pesisir dan laut yang telah dipilih dan disetujui oleh seluruh masyarakat Pulau Sebesi, (2) Wilayah yang dilindungi dijaga kelestariannya untuk kepentingan masyarakat Pulau Sebesi, dan (3) Setiap anggota masyarakat berkewajiban melaporkan kepada Kelompok Pengelola atau Pemeritah Desa,apabila mengetahui tindakan-tindakan perusakan lingkungan dan lain–lain yang dilakukan oleh orang per-orang dan atau kelompok, sehubungan dengan pelestarian Wilayah Perlindungan. Dengan demikian tugas dan tanggungjawab pengawasan daerah perlindungan laut menjadi tanggungjawab dan kewajiban setiap anggota masyarakat.

7. Daerah Perlindungan Laut Blongko
DPL Desa Blongko adalah DPL yang diinisiasi dan dikembangkan oleh Lembaga Internasional melalui program pengelolaan sumber daya pesisir atau yang disebut dengan Proyek Pesisir pada Tahun 1997. Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Blongko memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) melindungi ekosistem terumbu karang, (2) melindungi keanekaragaman hayati, dan (3) meningkatkan potensi sumber daya ikan. DPL Blongko didirikan dan ditetapkan oleh masyarakat desa bersama-sama dengan Pemerintah Desa pada Bulan Nompember 1998. Luas DPL Blongko sekitar 10 ha dengan panjang 300 m searah garis pantai. Pada Bulan Oktober 1999 DPL Blongko disahkan sebagai kawasan DPL oleh Kepala Desa Blongko dan Kelompok Kerja Pesisir Terpadu Kabupaten.
Sejak ditetapkan sebagai DPL, masyarakat Desa Blongko lebih aktif dan bertanggungjawab dalam menjaga dan melindungi sumber daya pesisir yang secara langsung berpengaruh pada kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat Desa Blongko yang dahulunya hanya memanfaatkan sumber daya laut, sejak adanya DPL aktif sebagai pengelola sumber daya. 

a. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumber Daya Wilayah Pesisir ini melalui suatu proses dan tahapan cukup panjang (lebih dari 1 tahun) yang dimulai dengan pengidentifikasian isu-isu atau perumusan masalah pengelolaan sumber daya wilayah pesisir di desa yang dirangkum dalam satu dokumen Profil Sumber daya Wilayah Pesisir Desa Blongko (Kasmidi, dkk., 1999). Selanjutnya berdasarkan profil tersebut dikembangkan satu rencana pengelolaan yang lebih terinci sehubungan dengan tujuan, strategi, kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam menangani isu yang bersangkutan, lembagalembaga yang bertanggung jawab (pemerintah, LSM, perguruan tinggi, dan lain-lain), hasil yang diharapkan, indikator keberhasilan dan monitoring serta struktur kelembagaan dalam pelaksanaan rencana pengelolaan. Sementara proses penyusunan rencana pengelolaan berlangsung, dilaksanakan kegiatan pelaksanaan awal (pembangunan MCK, pengadaan sarana air bersih, dan pengadaan sarana penangkapan ikan berupa mesin katinting) yang bermaksud menangani masalah-masalah penting dalam masyarakat yang bisa langsung ditangani tanpa menunggu rencana pengelolaan selesai dibuat.

Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumber daya Wilayah Pesisir Desa Blongko dilakukan oleh kelompok inti masyarakat yang sebelumnya telah diberi pembekalan berupa pelatihan yang difasilitasi oleh Proyek Pesisir. Kelompok inti ini terdiri dari perwakilan pemerintah desa, tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda/i yang beberapa di antaranya sebelumnya sudah bekerja dalam menyusun Profil Sumber daya Wilayah Pesisir Desa Blongko. Kelompok inti ini berfungsi untuk memfasilitasi penggalian isu, penentuan isu prioritas, penyusunan dokumen rencana pengelolaan dan sosialisasi dokumen sementara kepada masyarakat sampai pada pengesahan oleh pemerintah desa. Dalam menjalankan fungsinya, kelompok inti didampingi/difasilitasi oleh penyuluh lapangan yang mempunyai peran sebagai berikut: mengadakan sosialisasi kepada masyarakat, menjelaskan kepada masyarakat mengenai tujuan dan manfaat rencana pengelolaan serta proses penyusunan rencana pengelolaan, mengidentifikasi dan menghimpun kelompok inti untuk penyusunan rencana pengelolaan, memberikan pelatihan kepada kelompok inti masyarakat, merangkum hasil masukan dan ide masyarakat mengenai rencana pengelolaan, menjadi fasilitator dan koordinator sosialisasi, diskusi konsultasi antara masyarakat, instansi terkait dan proyek pesisir, dan koordinator penulisan dokumen Profil Sumber daya Wilayah Pesisir dan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumber daya Wilayah Pesisir.

b. Tujuan Rencana Pengelolaan
Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumber daya Wilayah Pesisir yang telah disusun oleh masyarakat Desa Blongko ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Sebagai pedoman bagi masyarakat desa, pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam upaya penyelesaian dan penanganan isu-isu/masalah yang diprioritaskan melalui rencana kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir terpadu.
2. Memperjelas tang gung jawab dan peran masyarakat, pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang ada di dalam Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumber Daya Wilayah Pesisir.
3. Sebagai pedoman dalam menetapkan aturanaturan dari masyarakat dan pemerintah sehubungan dengan penanganan isu dan penyelesaian masalah.

c. Strategi dan Kegiatan
1. Menjaga dan memperbaiki kualitas ekosistem terumbu karang dan habitat yang berhubungan dengan terumbu karang.
o Menghindari penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun serta kegiatan lain yang merusak ekosistem terumbu karang.
o Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan bakau di dalam Daerah Perlindungan Laut dan sekitarnya.
o Menghindari punahnya hewan langka yang ada di dalam daerah perlindungan dan sekitarnya.
o Monitoring, pengawasan dan penegakan Aturan Daerah Perlindungan Laut.
2. Meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pengembangan daerah perlindungan laut
o Pengembangan berbagai peluang usaha mandiri melalui kegiatan Daerah Perlindungan Laut.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan melalui pendidikan lingkungan hidup
o Peningkatan fasilitas dan material pusat informasi serta memperbaiki fasilitas yang ada.
o Pengembangan pendidikan lingkungan hidup di Sekolah Dasar dan masyarakat.
d. Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut
Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut dibentuk atas permintaan masyarakat yang muncul pada setiap musyawarahmusyawarah penetapan lokasi dan aturan Daerah Perlindungan Laut. Masyarakat merasa sangat perlu adanya suatu kelompok khusus yang menangani Daerah Perlindungan Laut dengan didukung oleh SK Desa Nomor: 03/2004A/KD-DB/VIII/98.


1. Tugas dan Tanggung Jawab
Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut ini mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
- Menyusun rencana pengelolaan Daerah Perlindungan Laut.
- Melakukan pengawasan, monitoring dan penegakan Aturan Daerah Perlindungan Laut bagi masyarakat dari dalam desa maupun dari luar desa termasuk para pengunjung.
- Mengkoordinir dan melaksanakan pembangunan pusat informasi, pemasangan tanda batas dan fasilitas lainnya yang diperlukan dalam pengembangan Daerah Perlindungan Laut.
- Memberikan penjelasan, penyuluhan, dan pendidikan lingkungan hidup kepada masyarakat tentang Daerah Perlindungan Laut.
- Mengembangkan peluang usaha masyarakat melalui kegiatan Daerah Perlindungan Laut.
- Menyampaikan laporan kegiatan dan keuangan secara terbuka di dalam kelompok, masyarakat dan kepala desa.
2. Masa Kerja
Masa kerja Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut ditetapkan selama dua tahun untuk satu periode kerja. Anggota masyarakat yang pernah duduk di kepengur usan periode sebelumnya dapat dipilih kembali untuk duduk di kepengurusan periode berikutnya. Pemilihan anggota masyarakat yang duduk di dalam kelompok pengelola ini dilakukan oleh masyarakat melalui musyawarah umum masyarakat.
3. Mekanisme Pelaporan
Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut pada akhir masa jabatannya wajib membuat evaluasi dan pertanggungjawaban di dalam kelompok dan di hadapan masyarakat umum. Selain pelaporan tahunan, kelompok juga wajib melaporkan setiap penyelesaian satu kegiatan yang menggunakan dana seperti pembangunan pusat infor masi, pembuatan tanda batas dan pembuatan papan-papan infor masi, secara terbuka dengan memperlihatkan bukti-bukti pemakaian dana. Dalam pelaporannya, kelompok pengelola melaporkan terlebih dulu di dalam kelompok melalui suatu rapat bulanan/dua bulanan yang dihadiri Badan Pengelola, kepala desa, LKMD, LMD, atau badan resmi lainnya yang ada di desa sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999, kemudian pelaporan disampaikan kepada masyarakat melalui musyawarah umum masyarakat.
4. Monitoring dan Evaluasi Daerah Perlindungan Laut
Monitoring dan evaluasi Daerah Perlindungan Laut dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut seksi monitoring dan pengawasan dengan membuat jadwal monitoring. Indikator yang digunakan dalam monitoring Daerah Perlindungan Laut adalah tutupan karang hidup dan jumlah ikan dengan menggunakan metode “Manta Tow”. Dalam pelaksanaan monitoring DPL juga dicatat beberapa pelanggaran yang terjadi terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan serta tindakan apa saja yang diambil dalam rangka menegakkan aturan tersebut jumlah tangkapan ikan yang diisi oleh nelayan yang melakukan penangkapan di sekitar Daerah Perlindungan Laut dalam wilayah sepanjang Tanjung Kayu Wale sampai Tanjung Blongko (Lampiran 4). Waktu pelaksanaan monitoring jumlah tangkapan ikan adalah 3 bulan berturut-turut dalam setahun dengan dua kali pemantauan dalam setiap bulannya yaitu pada musim bulan mati dan bulan penuh atau pada musim dimana masyarakat mendapatkan ikan yang paling banyak (masyarakat biasa menyebutnya bulan musim ikan). Setahun sekali Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi terhadap organisasi dan pelaksanaan program yang telah direncanakan. Selanjutnya kelompok pengelola ini melaporkan hasil evaluasinya kepada Badan Pengelola dan masyarakat melalui musyawarah umum.

e. Tatanan Kelembagaan
Kelembagaan merupakan aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan rencana pengelolaan. Suatu kelembagaan yang kuat dan matang akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanannya. Oleh karena itu perlu dijabarkan pengorganisasian kelembagaan dalam pelaksanaan rencana pengelolaan dengan jelas yang meliputi tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang terkait (pemerintah desa, lembaga pelaksana di desa, masyarakat, dinas teknis di tingkat kabupaten, pihak swasta dan LSM) dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan. Sebagai lembaga yang paling berperan di desa, pemerintah desa, LKMD dan kelompok pengelola atau lembaga resmi lainnya yang ada di desa merupakan lembaga penggerak utama roda pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir di desa. Untuk itu pembagian peran dan tugas lembagalembaga tersebut perlu dijabarkan dengan jelas. Peran dan tugas lembaga-lembaga tersebut antara lain:
1. Pemerintah Desa
Pelaksanaan Rencana Pengelolaan di tingkat desa di bawah koordinasi dan pengawasan dari kepala desa bersama dengan Badan Perwakilan Desa (BPD). Aparat pemerintah desa yang juga menunjang yaitu sekretaris desa, kepala-kepala urusan dan kepalakepala dusun. Pemerintah desa menerima pertanggungjawaban kegiatan yang dikelola oleh badan dan kelompok pengelola, namun harus mempertanggung-jawabkan semua kebijakan dan kegiatan yang telah dilaksanakan kepada BPD yang mewakili masyarakat desa secara keseluruhan. Kepala desa mengkoordinir pelaksanaan musyawarah pembangunan desa (MUSBANG) bersama BPD.
2. Badan Perwakilan Desa (BPD)
Badan Perwakilan Desa, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan badan yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili rakyat dalam perencanaan kegiatan pembangunan di desa. BPD bersama pemerintah desa melaksanakan kegiatan perencanaan dan membuat aturan-aturan desa. Selama BPD belum terbentuk di desa maka LMD/LKMD dapat berperan dalam menjalankan peran dan tanggung jawab BPD.
3. Badan Pengelola
Badan Pengelola adalah badan pelaksana rencana pengelolaan desa yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat melalui suatu musyawarah umum. Musyawarah pemilihan pengurus dan anggota Badan Pengelola dilaksanakan oleh pemerintah desa dan BPD dengan jangka waktu kepengurusan tertentu (5 tahun) atau sesuai kebutuhan masyarakat. Badan Pengelola bertanggung jawab kepada pemerintah desa (kades) dan BPD. Peran dan tugas Badan Pengelola adalah:
a. Bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan mengkoordinasikan dengan instansi-instansi terkait dan masyarakat dalam musyawarah pembangunan desa dan rapat koordinasi lainnya.
b. Monitoring dan evaluasi rencana pengelolaan termasuk melakukan penetapan anggaran dan musyawarah tahunan.
c. Merekomendasikan perbaikan dan perubahan rencana pengelolaan sesuai dengan kondisi yang terjadi.
d. Mendorong kerjasama dan koordinasi di antara masyarakat, kelompok pengguna, pengusaha, dan instansi terkait untuk menerapkan prioritas dalam melaksanakan rencana pengelolaan dan mengembangkan rencana aksi tahunan.
e. Melakukan pertemuan badan pengelola secara rutin, minimal empat kali setahun atau sesuai dengan kebutuhan.
f. Membuat rencana kerja dan anggaran belanja tahunan untuk diusulkan dalam APPKD melalui MUSBANG/RAKORBANG, serta membuat laporan tahunan untuk disampaikan kepada kepala desa dan BPD dan disebarluaskan kepada dinas terkait, masyarakat dan pihak yang terlibat dalam kegiatan.
g. Membuat dan memberikan laporan keuangan serta kegiatan yang telah dilaksanakan kepada masyarakat, pemerintah desa dan BPD.
h. Mendorong/melaksanakan kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat.
i. Melaporkan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan kepada pemerintah desa, BPD dan pejabat yang berwenang.
j. Mengkoordinasikan secara terpadu rencana pengelolaan ini dengan rencana pemanfaatan lahan desa saat kegiatan dikembangkan.

4. Kelompok Pengelola
Kelompok pengelola adalah anggota pengurus Badan Pengelola yang mengkoordinir pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pengelolaan berdasarkan isu. Kelompok pengelola ini dibantu oleh beberapa anggota seksi. Kelompok pengelola ditetapkan berdasarkan isu yang ada dalam rencana pengelolaan kemudian di bentuk seksi-seksi sesuai kebutuhan rencana pengelolaan, sehingga dapat menangani masalah/isu yang muncul secara terpadu. Seksi dibentuk untuk membantu pelaksanaan pengelolaan dan sesuai dengan keperluan isu yang ada. Misalnya seksi yang melaksanakan monitoring dan evaluasi adalah seksi pengawasan. Peran dan tugas kelompok pengelola adalah:
1. Bersama-sama dengan Badan Pengelola dan BPD mengusulkan dan menyepakati rencana kerja tahunan.
2. Melaksanakan rencana kerja tahunan.
3. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan.
4. Mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan rencana kerja.

f. Cakupan Wilayah Perlindungan Pesisir Dan Laut
DPL di Desa Blongko mencakup 2 zona wilayah yaitu zona inti, zona batas penyangga dan perlindungan daratan. Batasan wilayah tersebut sebagai berikut :
1. Zona Inti dan batas-batasnya berada di lokasi yang bernama LOS LIMA, yang mencakup wilayah yang terletak di dalam garisgaris lurus yang menghubungkan Titik Batas I, Titik Batas II, Titik Batas Bakau Utara, Titik Batas Terumbu Karang Utara, Titik Batas III, Titik Batas IV, Titik Batas Terumbu Karang Selatan dan Titik Batas Bakau Selatan.
a. Titik Batas I berjarak 50 meter diukur dari titik terluar tepi sebelah Utara Sungai bernama “Kuala Batu Tulu”.
b. Titik Batas II berjarak 300 meter diukur tegak lurus menyusur pantai dari Titik Batas I.
c. Titik Batas Bakau Utara berjarak 90 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas II ke arah laut.
d. Titik Batas Terumbu Karang Utara berjarak 244 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas Bakau Utara ke arah laut di tempat yang bernama “tubir nyare”.
e. Titik Batas III berjarak 50 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas Terumbu Karang Utara ke arah laut.
f. Titik Batas Bakau Selatan berjarak 150 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas I ke arah laut.
g. Titik Batas Terumbu Karang Selatan berjarak 174 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas Bakau Selatan ke arah laut di tempat yang bernama “tubir nyare”.
h. Titik Batas IV berjarak 50 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas Terumbu Karang Selatan ke arah laut.
2. Zona Penyanggah dan batas-batasnya berada di lokasi yang bernama LOS LIMA, yang mencakup wilayah yang terletak antara Zona Inti dengan garis-garis yang menghubungkan Titik Batas Penyanggah I, II, III, IV, V dan VI.
a. Titik Batas Penyanggah I berjarak 125 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas I menyusur pantai ke arah Selatan.
b. Titik Batas Penyanggah II berjarak 100 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas IV menyusur pantai ke arah Selatan.
c. Titik Batas Penyanggah III berjarak 100 meter diukur dari Titik Batas IV ditarik garis lurus ke arah laut.
d. Titik Batas Penyanggah IV berjarak 100 meter diukur dari Titik Batas III ditarik garis lurus ke arah laut.
e. Titik Batas Penyanggah V berjarak 100 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas III menyusur pantai ke arah Utara.
f. Titik Batas Penyanggah VI berjarak 125 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas II menyusur pantai ke arah Utara.
3. Wilayah Perlindungan Daratan dan batas-batasnya yaitu daratan yang mengikuti garis pantai yang batas-batasnya adalah bagian Utara berbatasan dengan Tanah Negara/perkebunan kelapa PT Laimpangi, bagian Selatan berbatasan dengan Tanah Negara/ perkebunan kelapa PT Laimpangi, bagian Timur berbatasan dengan Tanah Negara/perkebunan kelapa PT Laimpangi, dan bagian Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.

g. Tugas Dan Tanggung Jawab Kelompok Pengelola
1. Kelompok Pengelola yang dibentuk bertugas membuat perencanaan pengelolaan wilayah perlindungan yang disetujui oleh masyarakat, melalui keputusan bersama.
2. Kelompok Pengelola bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk Pengelolaan Wilayah Perlindungan Laut yang berkelanjutan.
3. Kelompok Pengelola yang dibentuk bertugas untuk mengatur, menjaga pelestarian dan pemanfaatan wilayah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat.
4. Kelompok Pengelola berhak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam keputusan ini.
5. Kelompok Pengelola berhak melaksanakan penyitaan, dan pemusnahan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuan dalam keputusan ini.
h. Kewajiban Dan Hal-Hal Yang Diperbolehkan
1. Setiap penduduk desa wajib menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian wilayah pesisir dan laut yang dilindungi.
2. Setiap penduduk desa dan atau kelompok mempunyai hak dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam perencanaan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah yang dilindungi.
3. Setiap orang atau kelompok yang akan melakukan kegiatan dan atau aktivitas dalam Wilayah Perlindungan (Zona Inti), harus terlebih dahulu melapor dan meperoleh ijin dari Kelompok Pengelola.
4. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam Wilayah yang dilindungi (Zona Inti), adalah kegiatan orang-perorang dan atau kelompok, yaitu penelitian, dan wisata, terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Kelompok Pengelola, dengan membayar biaya pengawasan dan perawatan, yang akan ditentukan kemudian oleh Kelompok Pengelola.
5. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Penyanggah, adalah pemanfaatan terbatas oleh nelayan, dengan terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Kelompok Pengelola.

i. Tata Cara Pemungutan Dan Penerimaan Dana
1. Dana yang diperoleh dari kegiatan dalam wilayah perlindungan, diperuntukkan sebagai dana pendapatan untuk pembiayaan petugas atau kelompok pengawasan/patroli laut, pemeliharaan rumah/menara pengawas, pembelian peralatan penunjang seperti pelampung, bendera laut dan biaya lain-lain yang diperlukan dalam upaya perlindungan wilayah pesisir dan laut, dan tata cara pemungutannya oleh petugas yang ditunjuk melalui keputusan bersama Kelompok Pengelola Wilayah Perlindungan Laut.
2. Dana-dana lain yang diperoleh melalui bantuan dan partisipasi pemerintah dan atau organisasi lain yang tidak mengikat yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pengelolaan Wilayah Perlindungan Pesisir dan Laut.


j. Hal-Hal Yang Tidak Dapat Dilakukan Atau Dilarang
Semua bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan perusakan lingkungan dilarang dilakukan di wilayah pesisir dan laut yang sudah disepakati dan ditetapkan bersama untuk dilindungi (Zona Inti dan Zona Penyanggah).

k. Sanksi
1. Barang siapa melakukan perbuatan melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11 dikenakan sanksi tingkat pertama ber upa permintaan maaf oleh yang bersangkutan atau kelompok, sekaligus menyerahkan seluruh hasil perbuatan/ tindakan, seperti penangkapan ikan yang dikonsumsi dan atau ikan hias, pengambilan kayu bakar dan atau ranting pohon bakau (mangrove/posi-posi), kerang-kerangan, batu, pasir, kerikil dan lain-lain, har us dikembalikan ketempat asalnya dan atau dimusnahkan, dan berjanji untuk tidak akan melakukan perbuatannya kembali, serta menandatangani surat pernyataan yang dibuat, dihadapan Pemerintah Desa, Kelompok Pengelola dan Masyarakat.
2. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatannya yang kedua kalinya seperti yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 dikenakan sanksi tingkat kedua yaitu sanksi seperti pada Pasal 11 ayat (1) diatas, ditambah dengan denda berupa sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Kelompok Pengelola, dan sekaligus penyitaan dalam tenggang waktu tertentu semua peralatan pemancingan, jala, perahu, parang, pisau, alat gergaji, alat pemotong dari mesin dan atau alat-alat lainnya yang dipergunakan untuk perbuatan yang dilarang dalam Keputusan Desa ini.
3. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatannya yang ketiga kalinya seperti yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10,dikenakan sanksi tingkat ketiga yaitu sanksi seperti pada Pasal 11 ayat (2) diatas, serta diwajibkan untuk melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan seluruh masyarakat desa, dan atau sanksi lain yang akan ditentukan kemudian oleh keputusan masyarakat dan pemerintah desa.
4. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan seperti yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10, secara berulangulang kali, yaitu perbuatan yang melebihi tiga kali, maka dikenakan sanksi seperti pada Pasal 11 ayat (3)diatas,dan kemudian diserahkan kepada pihak Kepolisian sebagai penyidik,untuk diproses sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
5. Perbuatan melanggar hukum pada Pasal 9 ayat (2) dikategorikan sebagai Tindak Pidana Pelanggaran.

l. Pengawasan
1. Wilayah yang dilindungi adalah merupakan daerah pesisir dan laut yang telah dipilih dan disetujui bersama oleh seluruh masyarakat Desa Blongko.
2. Wilayah yang dilindungi dijaga kelestariannya untuk kepentingan masyarakat Desa Blongko.
3. Setiap anggota masyarakat berkewajiban melaporkan kepada Kelompok Pengelola atau Pemerintah Desa, apabila mengetahui tindakan-tindakan perusakan lingkungan dan lain-lain yang dilakukan oleh orang-perorang dan atau kelompok, sehubungan dengan pelestarian Wilayah Perlindungan.

8. Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Bali
Bali, selain memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, juga memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan. Masyarakat Bali menyakini tiga hal yang dapat menciptakan kebahagian dalam kehidupan yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam atau yang biasa disebut "Trihite Karane". Hubungan antara manusia dengan Tuhan sangat terlihat di kehidupan masyarakat bali dengan banyaknya tempat-tempat ibadah yang dikenal dengan sebutan "pura" bahkan sampai di dalam hutan.
Selain hubungan dengan Tuhan, hubungan antar sesama pun sangat damai. Hal ini terlihat pada kehidupan harian masyarakat bali yang harmonis antar etnis yang ada, perbedaan kepercayaan serta suku menjadi suatu hal yang harus di pertentangkan. Selain itu hubungan dengan alam dan lingkungan sekitar pun terjaga dengan baik. Salah satunya terlihat dalam perilaku mayarakat Bali yang menjaga hutan dengan baik, karena menurut masyarakat Bali apabila hutan tertanggu maka kehidupan mereka pun tidak akan bahagia. Karena hutan memberikan banyak manfaat selain ekonomi juga ekologi khususnya dalam penyediaan sumber air serta menghindari terjadinya bencana alam. Contoh-contoh atau model pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat yang dikembangkan di Bali sebagaimana telah dipublikasikan oleh Yayasan kemitraan dan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Direktorat Bina Perhutanan Sosial (2009), yaitu pengelolaan hutan di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali yang ditulis oleh Danang et al (2009) sebagai berikut:

a. Strategi Pengelolaan Hutan Kabupaten Buleleng
Wilayah Kabupaten Buleleng memiliki topografi yang cukup unik yaitu daerah perbukitan di daerah hulu dan pantai di bagian hilir. Potensi hutan Buleleng relatif cukup luas yaitu sekitar 51.436,21 hektar atau 36 % dari luas daratan Kabupaten Buleleng. Berdasarkan Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, luas hutan di kabupaten ini telah memenuhi persyaratan ideal yaitu 30 % dari luas daratan. Namun tidak semua hutan tersebut dalam kondisi baik. Sekitar 60 % hutan di kabupaten ini masih dalam kondisi baik dan sisanya sekitar 40 % sudah tidak berfungsi sebagai mana mestinya.
Untyuk menjaga kondisi hutan tetap terjaga, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Buleleng melakukan startegi yaitu mengamankan hutan yang masih baik (60%) dan merehabilitasi wilayah lainnya (40%). Dinas Kehutanan dan Perkebunan membangun kerjasama dengan desa-desa adat "desa pakraman" untuk turut serta menjaga kawasan hutan di sekitar mereka dengan jalan mewajibkan mencantumkan kegiatan pengamanan hutan ke dalam aturan internal mereka atau yang sering dikenal dengan "awig-awig".

b. Sejarah HKm di Buleleng
Pembangunan hutan kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Buleleng dimulai tahun 1995 sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 tanggal 20 Nopember 1995 tentang Hutan Kemasyarakatan. Luas areal HKm yang pernah dibangun di Kabupaten Buleleng secara keseluruhan seluas 300 hektar namun hanya 150 hektar yang masih baik kondisinya.
Jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan HKm mencapai 450 orang. Aktivitas kelompok yang tetap berjalan hingga saat ini antara lain pemeliharaan tanaman yang disertai dengan penyulaman yang dilakukan secara swadaya oleh kelompok masyarakat. Aktivitas rutin lainnya adalah pertemuan rutin antar anggota. Kekuatan aturan internal, adat dan kepercayaan Kekuatan internal, nilai-nilai adat dan kepercayaan selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali. Kondisi ini tercermin pada setiap aktivitas keseharian mereka termasuk kegiatan pengelolaan HKm. Aturan internal yang telah dibuat yang dijadikan sebagai aturan internal kelompok tani HKm mengatur kewajiban dan hak dari masing-masing anggota kelompok dalam pengelolaan HKm. Adapun kewajiban bagi masing-masing anggota tersebut antara lain :
· Mematuhi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar;
· Mematuhi dan melaksanakan ketentuan yang ditetapkan oleh rapat anggota;
· Mematuhi peraturan perundangan yang berlaku;
· Melaksanakan perlindungan hutan;
· Melakukan penataan batas areal kerja;
· Membayar iuran kehutanan sesuai ketentuan yang berlaku.
Disamping itu setiap anggota kelompok tani HKm memiliki hak untuk :
· Melakukan Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan di areal kerjanya selama jangka waktu yang ditentukan sesuai peraturan yang berlaku;
· Menerapkan sistem pengusahaan hutan tradisional dan atau teknologi lainnya yang dipahami sesuai dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh anggota;
· Menyatakan pendapat dan memberikan suara dalam rapat anggota;
· Memilih dan dipilih menjadi pengurus;
· Melakukan pengawasan atas jalannya organisasi.

Kehidupan yang bernuansa kebersamaan, kekeluargaan serta keagamaan dapat dirasakan dalam setiap aktivitas keseharian masyarakat di Bali. Hal ini juga terjadi di lokasi pengelolaan HKm. Oleh karena itu di dalam aturan internal kelompok tani HKm yang dibuat mencantumkan kewajibannya dalam melakukan peribadatan antara lain sebegai berikut :
· Untuk melaksanakan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka anggota kelompok "menyungsung" satu pelinggih yang dibangun di dekat areal hutan kemasyarakatan.
· Pembiayaan upacara keagamaan dimaksud bersumber dari iuran anggota dan kas kelompok
· Pelaksanaan upacara keagamaan dikoordinasikan oleh ketua Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan.

c. Contoh Kasus Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Desa Sanggalangit
Hutan Kemasyarakatan di Desa Sanggalangit diawali melalui kegiatan pilot proyek HKm yang dimulai sejak tahun 1999/2000. Pembangunan pilot proyek HKm ini merupakan proyek bantuan dari OECF (pemerintah Jepang) sebagai bentuk pemulihan pasca krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998. Proyek-proyek pembangunan HKm serupa juga dilakukan di sepuluh provinsi lain tersebar di seluruh Indonesia.
Pada awalnya terdapat sekitar 400 orang yang ingin tergabung sebagai anggota kelompok HKm, namun dengan terbatasnya luas areal pilot proyek HKm hanya 50 hektar maka dilakukan proses seleksi keanggotaan kelompok HKm tersebut. Proses seleksi dilakukan dengan cara "berembug” yang demokratis dengan menggunakan kriteria-kriteria yang disepakati oleh semua pihak. Proses seleksi sebagai berikut :
· Kriteria pertama adalah apabila telah memiliki lahan dengan luas lebih dari 1 hektar maka tidak boleh ikut dalam keanggotaan HKm. Aturan ini menyeleksi keanggotaan menjadi 183 orang. Jumlah anggota masih terlalu berlebih untuk pengelolaan lahan seluas 50 hektar.
· Kriteria ke 2 yaitu bagi masyarakat yang telah memiliki sapi lebih dari 10 ekor dan memiliki bidang usaha yang sudah mapan tidak diperbolehkan bergabung dalam keanggotaan kelompok HKm ini. Berdasarkan kriteria terakhir ini dihasilkan 100 orang yang benar-benar memerlukan lahan garapan untuk menunjang kehidupan mereka.
Setelah terbentuknya kelompok HKm Wana Asri yang beranggotakan 100 orang tersebut masing-masing segera secara menentukan pembagian areal kerja. Luas areal kerja rata-rata berkisar 0,5 - 1 hektar per orang. Dengan areal kerja yang ada masing-masing anggota mulai melakukan penanaman diareal kerja masing-masing. Mereka melakukan penanaman palawija, agro, serta pakan ternak seperti jagung, kacang tanah, cabe dan rumput gajah disamping tanaman pokok mereka yaitu Sengon dan Mahoni. Menurut keterangan salah satu anggota bahwa dari pengelolaan palawija tersebut sangat membantu perekonomian keluarga mereka dan ini masih dapat dirasakan sampai dengan tahun ketiga dan empat. Pada awal-awal penanaman tersebut mereka mengistilahkan sebagai masa-masa surplus pangan. Jagung yang dihasilkan biasanya akan dikonsumsi sendiri sedangkan kacang tanah dan cabelah yang mereka jual sebagai nilai tambah dari pendapatan keluarga. Setelah tahun-tahun tersebut seiring dengan semakin tingginya tanaman pokok hasil dari palawija mulai menurun.
Kegiatan awal yang dilakukan adalah menanam tanaman kayuan yang rapat dengan jarak untuk tanaman Sengon yang digunakan 1 x 2 meter dan Mahoni 1 x 3 meter. Tingkat keberhasilan sebesar 60 persen. Hal ini di sebabkan karena sudah banyak tanaman kayu yang mati akibat sudah terlalu tua khususnya untuk Sengon yang memiliki daur tebang sekitar 6-7 tahun. Namun dengan kesadaran yang tinggi masyarakatt idak akan menebang pohon Sengon tersebut sebelum mati secara alami atau lapuk. Penanaman kesadaran untuk menjaga tanaman kayu ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa mereka malu mendapatkan atau mengambil kayu di lahan garapannya sendiri terlebih di lahan orang lain. Perilaku dan kebiasaan anggota kelompok tersebut tercermin dari pelaksanaan "Awig-awig" atau aturan internal yang telah disepakati dan dijunjung tinggi.
Awig-awig Kelompok Tani Wana Asri
(1) Membayar iuran wajib
(2) Membayar iuran hasil hutan kemasyarakatan
(3) Mencuri tanaman kayu hutan dan tanaman lainnya, untuk pelanggaran ini bagi yang bukan anggota kelompok didenda sebesar Rp. 50.000,-
(4) Merusak kelestarian hutan, untuk pelanggaran ini, bagi yang bukan anggota kelompok pelanggar ditangkap dan diserahkan kepada yang berwajib.
(5) Berperan serta dalam menyukseskan program kelompok
(6) Tidak melepas hewan piaraan ke lahan hutan kemasyarakatan sehingga merusak tanaman, untuk pelanggaran ini bagi yang bukan anggota kelompok didenda sebesar 10% dari nilai jual hewan piaraan.
(7) Menghadiri dan berpartisipasi dalam pertemuan kelompok.
(8) Pelanggaran terhadap Awig-awig sanksinya diberlakukan kepada setiap orang (anggota maupun bukan angggota kelompok tani hutan kemasyarakatan) dan ditetapkan melalui rapat anggota.
(9) Segala kebiasaan yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar, tetap dianggap sebagai peraturan sah yang tidak tertulis.
Keberhasilan mereka dalam membina kelembagaan kelompok inilah sebagai modal dan percaya diri yang sangat kuat untuk tetap melanjutkan pengelolaan areal HKm di Desa Sanggalangit tersebut. Meskipun setelah sepuluh tahun berlalu kepastian hak (Iegalitas) yang sangat didambakan bagi para anggota kelompok Wana Asri ini pun tak kunjung tiba. Melalui kebijakan terakhir dalam pengelolaan HKm mereka berharap harapan yang dinanti-nanti akan dapat diwujudkan.

d. Contoh Kasus Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Desa Pejarakan
Hutan Kemasyarakatan di Desa Pejarakan memiliki sejarah yang hampir sama dengan Desa Sanggalangit. Kegiatan ini diawali dengan pengkikutsertaan anggota masyarakat Desa Pejarakan sebanyak 30 orang untuk mengikuti pelatihan kelembagaan dan teknis Hutan Kemasyarakatan pada tahun 1999. Dari anggota ini menjadi kelompok tani hutan kemasyarakatan di Desa Pejarakan dengan nama Wana Sumber Makmur yang diketuai oleh Nengah Kimbes. Proses pembentukan kelompok ini didampingi secara intensif oleh pendamping YSPL Universitas Udayana. Sikap antusias masyarakat terhadap program HKm cukup besar sehingga perlu pembatasan. Untuk perekrutan awal berdasarkan kepemilikan lahan seluas 25 are, namun terjaring lebih dari 400 orang. Untuk tahap ke 2 dilakukan dengan cara mengundi dengan cara kocok nama, dan berhasil keluar 100 orang anggota dengan nama kelompok Tani Wana Sumber Makmur. Awig-awig Kelompok Tani Wana Sumber Makmur :
· Membayar iuran wajib
· Membayar iuran hasil hutan kemasyarakatan
· Mencuri tanaman kayu hutan dan tanaman lainnya, untuk pelanggaran ini bagi yang bukan anggota kelompok didenda sebesar Rp. 50.000,-
· Merusak kelestarian hutan, untuk pelanggaran ini, bagi yang bukan anggota kelompok pelanggar ditangkap dan diserahkan kepada yang berwajib.
· Berperan serta dalam menyukseskan program kelompok
· Tidak melepas hewan piaraan ke lahan hutan kemasyarakatan sehingga merusak tanaman, untuk pelanggaran ini bagi yang bukan anggota kelompok didenda sebesar 10% dari nilai jual hewan piaraan.
· Menghadiri dan berpartisipasi dalam pertemuan kelompok.
· Pelanggaran terhadap awig-awig sanksinya diberlakukan kepada setiap orang (anggota maupun bukan angggota kelompok tani hutan kemasyarakatan) dan ditetapkan melalui rapat anggota.
· Segala kebiasaan yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar, tetap dianggap sebagai peraturan sah yang tidak tertulis.
Sikap yang konsisten dalam pelaksanaan awig-awig tersebut ditunjukkan dengan dikeluarkan anggota kelompok HKm karena tidak melaksanaan kegiatan atau gotong royong sesuai dengan aturan yang telah disepakti. Atuaran yang dijalankan sebagai berikut :
· Pelanggaran pertama dikenai denda sebesar Rp 5 ribu rupiah,
· Pelanggaran kedua kali akan diingatkan oleh ketua kelompok HKm tersebut.
· Ketiga kali maka dikeluarkan dari keanggotaan kelompok.
Hasil usaha disepakati bahwa dari hasil tanaman juga didistribusikan kepada Desa Dinas (1%), Desa Pekraman (1%), kelompok (1%), serta kejahteraan anggota (2%). Dengan adanya sinergi yang baik antara pihak sistim pengamanan pada lokasi areal HKm tersebut pun dilakukan secara bersama-sama antara kelompok dan keamanan Pekraman.

9. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Di Santong, Nusa Tenggara Barat
Sama halnya dengan Bali, Nusa Tenggara Barat juga memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan, selain kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Contoh kasus pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah pengelolaan hutan bersama di Desa Santong yang telah dipublikasikan oleh Yayasan kemitraan dan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Direktorat Bina Perhutanan Sosial (2009), yang ditulis oleh Yulidan et al (2009) berikut ini:

Santong adalah suatu Desa yang terletak di kaki gunung Rinjani dengan luas wilayah sekitar 880 Ha. Masyarakat Desa Santong terdiri dari penduduk asli yang dalam istilah lokal disebut dengan "Petung Bayan". Mata pencarian sebagian besar masyarakat Santong adalah sebagai petani dan buruh tani. Sebagian kecil dari mereka menjadi pedagang hasi/kebun secara kecil-kecilan. Kehidupan mereka masih sangat sederhana bahkan dapat dikatakan miskin, karena tidak adanya akses masyarakat terhadap lahan di Desanya untuk berusaha. Miskinnya akses tersebut disebabkan oleh sebagian besar lahan yang ada di luar kawasan hutan merupakan lahan yang telah dikuasai oleh para pendatang. Masyarakat Santong tergolong masyarakat yang ulet dan pekerja keras. Selama melaksanakan pembelajaran dilapangan tidak lepas dari pengamatan kami banyak ibu-ibu dan anak-anak yang bekerja keras bahkan para manula pun tidak ketinggalan masuk keluar hutan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Tubuh-tubuh tua dan kekar tersebut masih mampu mengangkat kayu bakar dari sumber yang jauh di pedalaman Hutan Santong di kaki Gunung Rinjani.

Masyarakat Santong juga tergolong masyarakat yang arif dalam mengelola hutan dimana mereka telah memiliki aturan-aturan adat dalam pengelolaan hutan mereka. Aturan-aturan ini ditaati sepenuhnya oleh masyarakat yang ada di desa tersebut. Walaupun di masa reformasi, Hutan Santong pernah meninggalkan cerita sedih dalam pengelolaannya yaitu adanya perambahan hutan rimba yang lebat akibat kondisi kemiskinan dan kecemburuan sosial di antara mereka. Namun akhirnya mereka sadar betapa pentingnya hutan bagi kehidupan mereka, melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm) secara bertahap kondisi Hutan Santong kembali pulih.

a. Komitmen masyarakat Santong
Menurut aturan adat, apabila telah dilakukan kegiatan bercocok tanam dalam salah satu wilayah oman, setelah panen lokasi tersebut harus ditinggalkan 2 balit ( 1 balit = 6 bulan). Artinya lokasi tersebut dibiarkan bera atau diberikan kesempatan untuk memulihkan kesuburannya selain untuk mencegah erosi permukaan. Sebelum melakukan kegiatan bercocok tanam, ada lima (5) tahapan yang harus dilakukan secara berurutan yaitu:
1. Menjango, yaitu datang langsung ke lokasi melihat kelayakan apakah lahan tersebut bisa dipakai atau tidak untuk berladang dilihat dari kesuburannya, apakah lokasi tersebut telah memenuhi syarat minimal yaitu 2 balit setelah ditinggalkan penggarap sebelumnya dan lain-lain.
2. Membangar, yaitu memberikan tanda. Dalam istilah lokal disebut SANGER. Dengan benda-benda yang tidak mudah lapuk misalnya batu atau ranting pohon yang kuat. Anggota masyarakat selalu menghormati SANGER sebagai rambu-rambu hukum adat (awig -awig). Apabila dilanggar, yang bersangkutan akan kena maliq (kualat atau sial). Kegiatan ini dilakukan 1 bulan setelah menjango.
3. Buka 'Ttana' secara serempak yaitu : kegiatan pengolahan tanah yang dilanjutkan dengan penanaman dan dilakukan pada bulan keenam tahun berjalan yang dihitung sejak membangar. Pada saat buka 'ttana'ini segala bunyi-bunyian kesenian, maliq (sangat dilarang) dibunyikan karena pendapat masyarakat mengatakan bahwa saat itu masyarakat sedang mengais rizki dengan minta ridho Tuhan, bukan waktunya untuk bersenang-senang. Pada saat fase kegiatan ini anakoda (semacam PPL atau petugas penyuluh saat ini) melakukan sholat hajat tengah malam di masjid dan esok paginya langsung membawa bibit padi lahan untuk memulai penanaman berdasarkan dewase (hari yang baik menurut perhitungan adat). Anakoda ini bertugas memulai penanaman dengan beberapa contoh bibit yang disebut sebagai pon-pon, baru setelah itu diikuti oleh seluruh petani lainnya.
4. Pemeliharaan tanaman. Pada kegiatan ini nakoda datang nyambang (memantau/ melihat) kondisi tanaman sebagai tugas rutinnya apakah tanaman itu sehat atau terserang penyakit. Anakoda juga menunggu laporan dari masyarakat tentang keadaan tanamannya. Apabila tanaman terlihat ada gejala serangan hama/penyakit, maka peran Anakoda adalah melaporkan ke Mangu Gumi untuk memberikan pengobatan dengan syarat JAMPI.
5. Panen, Anakoda ditugaskan untuk mengawali proses panen sebagai tanda dimulainya masa panen, baru diikuti oleh seluruh petani. Tanaman padi pertama yang dipanen oleh Anakoda disebut Bapun Pare (tetuanya padi). Jika panen tersebut tidak selesai dalam sehari, maka pemilik tanaman harus mengakhirinya dengan membuntal daun dan beberapa tanaman padi sebagai tanda atau semacam sandi/kode agar orang lain tidak boleh masuk diladang tersebut.
Dalam setiap panen, masyarakat memberikan kontribusi bagi keberadaan Mangku Gumi dan Anakoda berupa seperempat hasil panen bagi Mangkugumi dan secekel (istilah lokal = 1 ikat padi) dalam setiap 50 ikat padi yang didapatkan. Sehingga Mangku Gumi dan Anakoda dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Di masyarakat Desa Santong ada lembaga-Iembaga tradisional yang membingkai kehidupan sosial mereka, seperti:
1. Kelompok Banjar, baik banjar hidup atau banjar kematian yaitu suatu kelompok atau kumpulan masyarakat yang berupaya untuk saling membantu dan saling mengingatkan dikala susah maupun senang. Kelompok ini dibangun atas dasar kepentingan bersama dengan tingkat solidaritas yang sangat tinggi. Prinsipnya susah senang ditanggung dan dirasakan bersama.
2. Kelompok zikiran dan pengajian, sebagai media aktualisasi semangat silaturahmi dan pelaksanaan kegiatan keagamaan secara khusus dan benar, mengandung pesan (massage) tentang nilai pentingnya memelihara lingkungan dan alam sekitar sebagai bagian dari ibadah.
3. Kelompok pemuda/remaja dan kalangan pendidikan, tempat berkreasi dan mempelajari arti penting lingkungan bagi generasi penerus Desa Santong. Di desa Santong ada lembaga pendidikan Bayyinul Ulum yang membina dan mengasuh santri mulai dari MI (Madrasah Ibtidaiyah) sampai ke Tsanawiyah. Ketua dan sekaligus Kepala Sekolahnya adalah putra asli Desa Santong (Sabidi) dan pengurus lainnya berasal dari penduduk luar yang telah menetap lama di Santong.
4. Dan lembaga tradisional lainnya seperti: Kelompok Serakalan, zikir 1000, yasinan, hiziban dan lain-lain. Semua lembaga-Iembaga ini telah dimanfaatkan secara optimal dan dikembangkan sebagai bagian dari strategi pendekatan dan pengembangan masyarakat (community development) terutama untuk diarahkan sebagai lembaga yang fungsional kedepan. Dan terbukti lembaga-lembaga inilah yang kemudian lahir sebagai em brio (cikal bakal) lembaga Koperasi TaniHKm Santong yang ada sekarang. Keberhasilan Ini j uga tldak terlepas darisystem koordinasi yang baik antar semua elemen program mulai dari kepaladesa, petugas lapangan dari dinas lain, serta mitra-mitra masyarakat sepertipengusaha, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan lain-lain.

b. Pembelajaran yang didapat dari proses HKm di Desa Santong
Sesungguhnya masyarakat desa khususnya masyarakat pinggir hutan telah mengusung nilai-nilai abadi dalam sehari-hari mereka. Ada nilai-nilai tinggi yang dipraktekkan dalam menjaga survive (keberadaan dan kelangsungan hidup) mereka secara utuh dari masa ke masa. Pengalaman keberhasilan Santong dalam merehabilitasi hutan secara swadaya, meski didalamnya ada nilai proyek yang tidak begitu banyak berperan telah membuktikan bahwa dalam situasi apapun dan dalam keadaan bagaimanapun, mereka akantetap melaksanakan kegiatan itu asal negara atau pihak luar tidak terlalu berambisi melakukan intervensi kalau tidak dikatakan memporak-porandakan kehidupan mereka.
Input luar bisa saja sangat dibutuhkan, namun konteknya melengkapi dan memfasilitasi apa yang menjadi tatanan yang telah berlaku ditengah-tengah masyarakat. Sebagai bagian dari struktur sosial, tentunya masyarakat desa juga memiliki kelemahan-kelemahan, namun jangan diartikan itu sebagai ketidak-mampuan mereka atau kemiskinan atau kelemahan mereka.
Beberapa pengalaman dan pembelajaran yang dapat diambil dari proses pelaksanaan HKm di Desa Santong Kecamatan Kayangan Lombok Barat Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut:
1. Potensi Kearifan, yang dimiliki oleh masyarakat dalam mengelola diri,lingkungan dan masa depan mereka sangat luar biasa, seperti tentangsistem pengelolaan, pencadangan areal dan lain-lain.
2. Pendekatan kultural, keagamaan, kesetaraan dan semangat rendah hati menjadi bagian yang penting.
3. Pemanfaatan lembaga-Iembaga lokal menjadi sangat strategisdalam upaya membangun embrio lembaga/ kelompok masyarakatyang nantinya diharapkan berfungsi kedepan. Sebab lembaga local memiliki akar basis yang kuat di masyarakat serta secara langsungmenyentuh kebutuhan masyarakat baik dalam kebutuhan materialmaupun non material.
4. Di desa-desa hutan ada budaya yang saling berinteraksi, artinya dalam kasus santong ada masyarakat lokal (asli) dan ada masyarakat pendatang. Dalam kesehariannya mereka hidup dalam harmoni yang sangat indah-saling membantu, membaur dalam kesetia-kawanan sosial yang sangat tinggi, Sikap pendamping harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ini dengan tidak menempatkan diri sebagai permasalahan dalam dua tradisi atau budaya yang berbeda.

3.4. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kebijakan negara dalam pengelolaan sumber daya alam telah diterjemahkan ke dalam serangkaian peraturan perundang-undangan yang mencakup :
1. UU No. 32 TAHUN 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Pemanfaatan sumber daya alam diatur dalam Pasal 12 menyebutkan bahwa:
m. Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH.
n. Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: (a) keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; (b) keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan (c) keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.

2. UU No.27 TAHUN 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan PemerintahDaerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan:
1) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
2) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
3) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan
4) meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan:
- antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
- antar-Pemerintah Daerah;
- antarsektor;
- antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;
- antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan
- antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

3. UU No. 31 TAHUN 2004 tentang Perikanan
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.

4. UU No. 32 TAHUN 2004 tentang Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam yang dijelaskan pada Pasal 2 sebagai berikut:
1. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.
2. Hubungan sebagaimana dimaksud diatas meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
3. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.
4. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.

5. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Dalam UU ini dijelaskan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari atas hutan negara dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Pemerintah menetapkan status hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pada Pasal 17 dijelaskan bahwa Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
Pada Pasal 67 menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pada Pasal 68 menjelaskan masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan dan dapat:
a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

Pada Pasal 69 menjelaskan masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.

6. UU No 5 Tahun 1990 Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan.
Pada pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Dalam bagian penjelasan, dijelaskan bahwa upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistenmya, belum sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari.

3.5. Kontekstual Kementerian Dalam Negeri dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pada rumusan dokumen-dokumen kebijakan termasuk didalamnya yang berikaitan dengan pengaturan dan implementasi kebijakan, senyatanya mestinya Ditjen PMD Kementerian Dalam Negeri memiliki rumusan mengenai kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis masyarakat. Runutannya sebagai berikut:
a. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan pengertian tentang kawasan perdesaan dalam Penjelasan Pasal 199 ayat (5), yaitu: “Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.”
b. PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa telah memberikan konsepsi yuridis tentang pembangunan kawasan perdesaan dengan atribut logisnya dalam bentuk kerjasama desa atau kerjasama antar desa. Peraturan perundang-undangan yang lebih teknis dalam mengatur kerjasama antar desa adalah Permendagri No. 38 Tahun 2007 tentang Kerjasama Desa.
c. Mempertimbangkan arah kebijakan pembangunan perdesaan RPJMN 2004-2009 dan hasil evaluasi pelaksanaan RPJM Nasional di tingkat provinsi, untuk menyusun strategi-strategi pembangunan kawasan perdesaan berbasis masyarakat, dalam jangka menengah.
d. Mempertimbangkan Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Tahun 2010-2014 merupakan dokumen perencanaan jangka menengah di lingkungan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri. Penyusunan RENSTRA diakomodasikan dalam suatu perencanaan strategis, sesuai dengan posisi dan peran strategis Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, dalam melaksanakan tugas pemberdayaan masyarakat perdesaan dan pemerintahan desa ke depan.
e. Pembangunan kawasan perdesaan dalam Permendagri No. 51 Tahun 2007 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat, mempunyai ruang lingkup: (i) penataan ruang partisipatif; (ii) penetapan dan pengembangan Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa; dan (iii) penguatan kapasitas masyarakat, kelembagaan dan kemitraan.
f. Mempertimbangan Kebijakan pembangunan desa berwawasan nilai sosial budaya, (Permendagri No. 52 Tahun 2007) antara lain, (1) pengakomodasian keanekaragaman lokal untuk memperkokoh kebudayaan nasional; (2) penciptaan stabilitas nasional, di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama maupun pertahanan dan keamanan nasional; (4) menjaga, melindungi dan membina adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat; (5) penumbuhkembangan semangat kebersamaan dan kegotongroyongan; (6) partisipasi, kreatifitas, dan kemandirian masyarakat; (7) media menumbuhkembangkan modal sosial; dan (8) terbentuknya komitmen dan kepedulian masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sosial budaya.