Tinjauan Ketimpangan Wilayah

ISU Kesenjangan atau ketimpangan wilayah masih menjadi persoalan kritis dalam ranah pembangunan dewasa ini. Sebagaimana dicatat bahwa sejak era 1970-an, pembangunan ekonomi Indonesia ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil hingga 1997 ketika secara mendadak dihalau badai krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kini kembali bergeliat, walaupun secara keseluruhan masih pada tahap pemulihan dan belum mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sebelum krisis tahun 1997. Bila sebelum krisis pertumbuhan ekonomi di atas 7%, namun pertumbuhan ekonomi paska krisis masih di kisaran 6% selama tiga tahun terakhir (2005-2008). Sementara itu, ketimpangan pendapatan yang diukur dengan pengeluaran rumah tangga telah mencapai batasan yang moderat selama periode 1997 hingga 2005, yakni antara 0,32 dan 0,36 dalam Indeks Gini.

Meskipun kecenderungan kesenjangan secara keseluruhan cukup moderat, namun kesenjangan regional masih menjadi titik perhatian serius. Perbedaan besar dalam Produk Domestik Regional Bruto PDRB (per kapita) telah terus berlangsung antara daerah di Indonesia. Kita bisa melihatnya dalam konteks ketimpangan pada jenjang propinsi maupuan ketimpangan daerah pada jenjang kabupaten/kota. Kesenjangan regional itu tidak hanya terjadi antar kawasan ini, namun juga antar dan intraprovinsi dan kabupaten/kota. Masalah kesenjangan regional bisa semakin besar terutama bila daerah-daerah yang mewarisi sumber daya alam tertentu tidak mendapatkan kembali hasil sumber daya alamnya. Demikian pula bila daerah-daerah yang miskin sumber daya alamnya tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk mengatasi masalah pembangunannya.


Keadaan semacam ini bisa semakin meningkatkan ketegangan antardaerah dan memancing sentimen kedaerahan terhadap pemerintah pusat. Karena itu, pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah (pemda) harus duduk bersama mengatasi berbagai faktor yang memengaruhi kesenjangan regional dengan metode yang lebih sistematis.
Kesenjangan : Perspektif TeoritisPemahaman terhadap konsepsi kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi intensitas agregat, tetapi juga representasi distribusional kesejahteraan antarkelompok masyarakat atau antardaerah. Representasi distribusional merupakan muara dari persoalan yang mendasar, yaitu keadilan. Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional tersebut. Konsep tentang kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang itu, maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu, dan sebagainya.
Pembahasan kesenjangan menghendaki pendefinisian kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pendefinisian kelompok yang sejak awal sering digunakan adalah kelompok pendapatan. Masyarakat dibedakan menurut kelompok-kelompok 10 persen populasi (decile), mulai dari kelompok 10 persen populasi berpendapatan terendah, kelompok 10 persen populasi berikutnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Cara pengelompokkan lain adalah berdasarkan tingkat pendapatan: 40 persen populasi dengan pendapatan terendah, 40 persen berikutnya dengan tingkat pendapatan menengah, dan 20 persen populasi yang berpendapatan tinggi.
Selain pengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pengukuran kesenjangan juga menggunakan daerah sebagai basis pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai implikasi pengamatan kesenjangan masyarakat antardaerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender.
Kondisi kesenjangan kesejahtaraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator kesenjangan antardaerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi statistik. Perkembangan indeks gini sepanjang 1970-2002 di Indonesia disajikan pada tabel dibawah ini. Nilai indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin parah, dan sebaliknya. Dari tabel tampak bahwa ketimpangan di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan di perkotaan. Hal ini dimungkinkan karena konsentrasi asset, misalnya, lebih besar terakumulasi di perkotaan.
Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkelompok maupun antardaerah selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau menaik sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan? Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak bisa ditolerir lagi? Secara teoritik kesenjangan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu faktor alam, faktor kultural, dan faktor struktural (kebijakan). Teori-teori mengenai proses kesenjangan pada umumnya menekankan kepada peranan satu atau lebih faktor tersebut.
Penelitian KesenjanganRangkaian berbagai penelitian tentang kesenjangan ditandai oleh tonggak-tonggak temuan. Kuznets (1954) tercatat sebagai salah satu peneliti awal dalam meneliti kesenjangan. Ia meneliti kesenjangan di berbagai negara secara cross-sectional dan menemukan pola U terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata perkapita pada awal perkembangan negara masih rendah, dan tingkat kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan rata-rata naik, maka kesenjangan juga meningkat. Kemudian ketika pendapatan rata-rata naik lebih tinggi, maka kesenjangan akan turun kembali.Penelitian yang dilakukan oleh Williamson (1966) menekankan pada kesenjangan antarwilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan kesenjangan pendapatan rata rata antarwilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah.
Di samping pola dan faktor penentu kesenjangan, peneliti juga mengamati proses terjadinya kesenjangan. Myrdal (1957) melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antarwilayah yang meningkat karena berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Sebaliknya terdapat teori yang menjelaskan proses yang berlawan arah, yaitu teori efek penetesan yang menjelaskan penyebaran faktor produksi dari suatu wilayah yang telah maju ke wilayah yang belum maju karena di wilayah yang telah maju terjadi eksternalitas negatif yang makin besar.
Dalam penelitian lain, kesenjangan juga dikaitkan dengan faktor alam, yaitu tingkat kekayaan sumber daya alam suatu wilayah. Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa urbanisasi, sebagai akibat dari kesenjangan perdesaan dan perkotaan, merupakan proses menuju suatu bentuk tertentu dari keseimbangan. Guna memberikan gambaran perkembagan terakhir tentang penelitian kesenjangan, berikut ini disampaikan tinjauan singkat dari beberapa hasil penelitian. Zhicheng Liang (2005) menjelaskan mengenai pola hubungan perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada disparitas antarwilayah di China khususnya kesenjangan wilayah pesisir dan daratan. Penelitian ini berusaha mengeksplorasi bagaimana keadaan perekonomian makro di China pasca diberlakukannya dualisme sistem ekonomi China (lebih bersifat kapitalis untuk wilayah pesisir dan sosialis untuk wilayah daratan). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan sektor keuangan secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir, tapi tidak memberi dampak pada wilayah daratan, dan fakta ini diperburuk oleh lemahnya pertumbuhan sektor keuangan di wilayah daratan yang secara kontekstual semakin memperburuk disparitas antara wilayah pesisir dan wilayah daratan di China. Penelitian tersebut menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto provinsi di China, dan melihat tingkat kesenjangan berdasarkan indeks Gini.
Salvadore Barrios dan Eric Strobl (2006) menuliskan laporan penelitian mengenai hubungan antara kesenjangan antarwilayah dengan pembangunan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data Produk Domestik Bruto di negara-negara Uni Eropa yang diolah dengan metoda ekonometrik untuk menjelaskan pola hubungan antara PDB dengan kesenjangan antarwilayah yang berbentuk kurva huruf U terbalik. Hasil penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa untuk negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memilki pola kesenjangan wilayah yang berbentuk kurva huruf “U” terbalik. Temuan ini sejalan dengan temuan Kuznets. Temuan lain dari penelitian ini membuktikan bahwa variabel yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan ekonomi negara Uni Eropa antara lain struktur anggaran negara dan desentralisasi fiskal dan mekanisme redistribusi jaminan sosial memberi dampak terhadap kesenjangan antarwilayah.
Penelitan yang dilakukan oleh Diego Andre de Assumcao (2005) mencoba mengeksplorasi peran pengetahuan masyarakat sebagai faktor utama dalam mengurangi kesenjangan antarwilayah di Brazil. Dalam laporan penelitian, mereka memaparkan berbagai alternatif untuk sosialisasi pengetahuan kepada masyarakat melalui berbagai saluran atau kanal informasi. Penelitian ini juga dikaitkan dengan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Brazil. Tujuan Pembangunan Milenium tersebut digunakan sebagai indikator untuk memperlihatkan perkembangan Brazil dalam peningkatan kesejahteraan dan pengetahuan masyarakat untuk mengurangi kesenjangan wilayah. Penelitian kesenjangan antardaerah di India yang relatif baru dilakukan oleh B. Bhatacharya dan A Sakthivel (2004). Penelitian ini menganalisis kesenjangan wilayah yang terjadi di India. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Produk Domestik Bruto, Produk Domestik Regional Bruto, dan pendapatan perkapita sebagai dasar analisis statistik deskiptif untuk menjelaskan kinerja pertumbuhan wilayah dan perubahan struktur wilayah-wilayah di India. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa pembangunan industri di India berjalan secara cepat dan terpusat di wilayah-wilayah dengan infrastruktur memadai. Pola pembangunan seperti ini semakin mempertajam kesenjangan antarwilayah di India. Temuan lainnya adalah adanya korelasi negatif antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pendapatan. Hal ini secara berantai menimbulkan suatu masalah yang simultan, yaitu beban wilayah yang berat dengan jumlah penduduk tinggi dan pendapatan yang rendah sehingga mendorong migrasi ke wilayah lain yang lebih maju. Di sisi lain, masalah yang terjadi di wilayah tujuan adalah tidak meratanya tingkat pendidikan yang menyebabkan timbulnya masalah sosial pengangguran yang mengarah pada meningkatnya kriminalitas.
Penelitian lain yang relevan dengan desentralisasi dilakukan oleh Christian Lessmann (2006). Ia meneliti mengenai hubungan desentralisasi fiskal dengan kesenjangan wilayah. Penelitian ini mengunakan beberapa data statistik ekonomi 17 negara OECD yang diolah melalui analisis statistik deskriptif. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi kesenjangan. Namun, hasil temuan ini hanya berlaku bagi negara negara maju saja. Bagi negara berkembang dan miskin, desentralisasi mungkin akan menyebabkan semakin tajamnya kesenjangan antarwilayah. Hal ini disebabkan masih tingginya tingkat korupsi dan lemahnya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya dan pelayanan publik.
Sejak awal 1990-an, pemerintah secara lebih serius memberi perhatian pada pembangunan di KTI yang dapat dilihat dari, misalnya, pembentukan Dewan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada 1993 dan diangkatnya Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada 2000. Usaha-usaha untuk mempercepat pembangunan di kawasan timur tercermin dari meningkatnya anggaran negara sejak 1993/1994 untuk Pengeluaran Daerah dan Dana Pembangunan Daerah bagi kawasan tersebut. Sejak 1990-an, meski terbilang lamban, kesenjangan pembangunan antara barat dan timur cenderung mengecil.
Namun perhatian terhadap kesenjangan kawasan masih terus berlanjut dengan memperhatikan pada kesenjangan secara menyeluruh. Kesenjangan regional yang wujudnya ketertinggalan suatu daerah terjadi pada kawasan barat maupun kawasan timur. Analisis ketimpangan di kawasan barat Indonesia, utamanya di Sumatra, telah dilakukan oleh Hendra Asmara. Berdasarkan hasil analisis atas indeks ketertinggal ditetapkan 199 daerah tertinggal. Upaya-upaya untuk mengembangkan daerah tertinggal ini yang kemudian diamanatkan pada Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. (KPDT).

Kesenjangan Antar Daerah
Kesenjangan antardaerah pada provinsi-provinsi terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Lebih dari itu, pengembangan provinsi-provinsi baru sejak 2001 telah menyumbang pada tingkat kesenjangan yang semakin lebar. Tabel 1 menunjukkan bahwa pada 2000, PDB (termasuk minyak) Sumatera dan Jawa sebesar 80%. Angka ini tidak banyak berubah dibandingkan periode 1970-an hingga 1990-an, dimana Jawa dan Sumatera memegang kira-kira 80% PDB Indonesia. Namun, berkembangnya provinsi-provinsi baru sejak 2001 dan desentralisasi diduga akan mendorong kesenjangan antardaerah yang lebih lebar. Pada tingkat provinsi, ketimpangan tertinggi masih tetap ditemui di Jakarta, Jawa, dan Bali pada tahun 1990-an dan 2000. Berdasarkan PDRB nonminyak per kapita tahun 2000, provinsi termiskin di Jawa dan Bali mempunyai rasio kurang dari seperlima yang dimiliki oleh provinsi terkaya, yakni DKI Jakarta. Rasio rata-rata PDRB nonminyak per kapita provinsi-provinsi lain di Jawa dan Bali dibandingkan rasio rata-rata DKI Jakarta kurang dari 40%. Kesenjangan antarprovinsi menjadi lebih lebar ketika minyak dan gas dimasukkan dalam PDB per kapita, terutama bagi provinsi-provinsi di Kalimantan.
Adanya kota metropolitan dan kota-kota besar di Jawa telah menarik orang-orang untuk bermigrasi, baik dari daerah perdesaan di Jawa maupun luar Jawa. Hal ini telah mengakibatkan proporsi PDB Pulau Jawa yang sangat tinggi (58%) dan penduduk yang sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa. Konsekuensi dari konsentrasi ekonomi dan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa adalah manifestasi dampaknya yang negatif terkait dengan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan serta masalah-masalah sosioekonomi yang dimunculkannya.
Kesenjangan Intra Daerah
Kesenjangan intradaerah terjadi karena adanya beberapa kabupaten atau kota yang kaya dengan jumlah penduduk yang terbatas dalam sebuah provinsi. Kabupaten atau kota ini akan menonjol dalam hal PDB per kapita relatif terhadap kabupaten-kabupaten lainnya dalam provinsi yang sama. Kesenjangan intradaerah yang tinggi dapat ditemukan, baik di kawasan timur maupun barat. Sebagai contoh, rasio PDRB per kapita termasuk minyak dan gas Kabupaten Pidie, adalah 2% dibandingkan dengan kabupaten terkaya di Aceh Utara di Provinsi Aceh. Contoh lainnya adalah Kabupaten Nunukan, kabupaten termiskin di Kalimantan Timur dengan rasio PDRB per kapita minyak dan gas sebesar 5% relatif terhadap wilayah terkaya, yakni Kota Bontang. Kabupaten Nunukan adalah salah satu kabupaten baru yang dibentuk sejak 2000. Angka dan kesimpulan yang sama juga dapat ditarik dari provinsi lainnya, terutama provinsi penghasil minyak. Provinsi yang tidak memiliki kabupaten yang menonjol cenderung memiliki kesenjangan yang lebih kecil, seperti Provinsi Sulawesi Selatan.
Di samping antar kabupaten, kesenjangan juga terjadi antara daerah perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan lebih berkembang dari segi ekonomi, karena terdapat investasi negara dan swasta, dan fasilitas infrastruktur yang terkonsentrasi tinggi. Peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang terdapat dalam suatu kota telah menarik lebih banyak orang dari perdesaan dan menambah masalah urbanisasi. Jika kota-kota gagal mengatasi masalah yang diakibatkan oleh urbanisasi, maka hal ini bakal menciptakan masalah sosioekonomi yang lebih banyak lagi bagi perkotaan. Di sisi lain, kota yang mampu mengelola masalah urbanisasi dapat lebih banyak berperan sebagai pusat pertumbuhan bagi daerah-daerah di sekitarnya dan mengurangi masalah akibat kesenjangan yang tajam antara perkotaan dan perdesaan.
Faktor Penentu Kesenjangan Wilayah
Kepemilikan sumber daya alam yang tidak merata antardaerah
Beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan yang kaya sumber daya alam, seperti hutan, minyak, gas, dan barang tambang lainnya adalah daerah yang memiliki PDRB termasuk minyak dan gas per kapita yang tinggi. Daerah-daerah berikutnya adalah daerah yang memiliki sektor manufaktur dan jasa, khususnya beberapa daerah di Jawa, Bali, dan Sumatera. Kalimantan Timur mempunyai PDRB (dengan minyak) per kapita tertinggi sebesar Rp9,2 juta, dengan Kabupaten Bontang sebagai produsen minyak utama. Pada urutan kedua adalah DKI Jakarta dengan PDRB per kapita Rp7,7 juta. Sementara provinsi termiskin adalah Nusa Tenggara Timur yang memiliki PDRB per kapita Rp0,756 juta.
Pada masa Orde Baru, daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya mensubsidi daerah-daerah yang lebih miskin melalui berbagai mekanisme transfer dari pusat. Oleh karena itu, produsen minyak dan gas seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur tidak sepenuhnya menikmati bagian yang seharusnya mereka terima dari PDB Indonesia. Proporsi hasil fiskal yang tidak adil dari pendapatan sumber daya alam yang diterima oleh daerah produsen telah memunculkan kritik daerah terhadap pusat. Masalah proporsi pendapatan sumber daya alam yang tidak adil dicoba diatasi dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak 2001.
Sumber daya manusia
Sudah diakui sejak lama bahwa kualitas sumber daya manusia dalam hal pendidikan dan kesehatan akan memengaruhi kemampuan suatu daerah untuk berkembang. Namun, penyebaran sumber daya manusia dalam hal kuantitas dan kualitas sangat tidak merata. Sekitar dua per tiga dari penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa dan kalangan yang berpendidikan juga terkonsentrasi di pulau tersebut. Kawasan timur dan daerah-daerah terpencil di Indonesia mempunyai kualitas sumber daya manusia yang jauh lebih rendah. Dalam provinsi sendiri, sumber daya manusia tersebar secara tidak merata, baik antarkabupaten/kota maupun gender.
Menurut Laporan Pembangunan Manusia di Indonesia, 2004, tingkat melek huruf Indonesia pada 2002 hampir mencapai 90%, sementara rata rata waktu belajar di sekolah adalah sekitar 7 tahun. Akan tetapi, provinsi-provinsi seperti Nusa Tenggara Barat dan Papua masih memiliki tingkat melek huruf orang dewasa di bawah 80%. Masalah kesenjangan lain adalah perbedaan dalam indikator pendidikan antara perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan data Susenas 2003, tingkat buta huruf di daerah-daerah perdesaan adalah dua kali lipat dibanding daerah perkotaan. Sekitar 13,8% total penduduk masyarakat perdesaan adalah buta huruf, sedangkan angka untuk daerah perkotaan adalah sebesar 5,5 %. Sementara itu, tingkat partisipasi sekolah bagi penduduk yang berusia 16-18 di daerah perkotaan adalah 66,7%, hampir dua kali lipat daerah perdesaan. Kesenjangan ini bahkan lebih tinggi kalau dilihat dari tingkat pendapatan masyarakat. Sebagai contoh, tingkat partisipasi sekolah bagi mereka yang berusia 16-18 tahun adalah 76% untuk 20% tingkat pendapatan tertinggi dan hanya 25% untuk 20% tingkat pendapatan yang terendah. Rata-rata waktu belajar di sekolah bagi penduduk perkotaan pada 2003 adalah 8,73 tahun, sementara untuk perdesaan hanya 5,84 tahun.
Disparitas gender dalam pendidikan di sekolah
Disparitas gender dalam kemampuan mengenyam pendidikan memang mengalami perbaikan. Pada tahun 2005, rata-rata lama sekolah perempuan adalah 6,8 sedangkan rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,8. Perkembangan selanjutnya menunjukkan perbedaan semakin menurun pada tahun 2006 yang ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah perempuan adalah 7,0 sementara rata-rata lama sekolah adalah 7,9. Dilihat secara regional, rata-rata lama sekolah perempuan terendah terjadi di Papua dengan rata-rata lama sekolah 5,2. Sedangkan rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 6,4.
Distribusi aset yang tidak merata
Aset industri dan barang mewah banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan. Lebih dari itu, berdasarkan penilaian Bappenas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk 2004-2009, jumlah total tanah pertanian milik petani kecil (petani yang memiliki kurang dari 0,5 hektare tanah) adalah 56,2%. Kondisi ini lebih diperburuk lagi oleh minimnya akses bagi petani atas masuknya modal, keterampilan teknologi, dan jejaring sosial.
Akses terhadap infrastruktur juga terbatas. Di samping penyebarannya tidak merata, kurangnya akses pada infrastruktur diperparah oleh persoalan-persoalan dalam pembiayaan, operasi, dan perawatan. Kebanyakan penyediaan infrastruktur di Indonesia terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu di KBI dan perkotaan. Sebagai contoh, panjangnya jalan di Sumatera dan Jawa merupakan 60% dari total infrastruktur jalan di Indonesia. Menjadi halangan bagi kabupaten-kabupaten yang lebih miskin untuk membangun daerahnya karena kurangnya fasilitas infrastruktur. Masalah yang serupa juga dihadapi oleh seluruh provinsi di Indonesia dalam hal fasilitas transportasi udara dan air/laut.
Fasilitas infrastruktur lainnya, seperti air dan sistem irigasi juga terkonsentrasi di wilayah-wilayah barat, terutama Jawa dan Bali. Namun, sistem irigasi di Jawa dan Bali telah mengalami degradasi sebagai akibat konversi tanah pertanian untuk pembangunan industri dan meningkatnya jumlah populasi. Pengembangan infrastruktur telekomunikasi menyebabkan kesenjangan, baik antar maupun intradaerah. Menurut RPJM dan Bank Dunia, hingga 2004 hanya 14% dari total infrastruktur telekomunikasi telah dibangun di KTI. Sementara itu, sekitar 64% desa di kawasan ini tidak memiliki fasilitas telekomunikasi (Bank Dunia).
Masalah yang sama juga dihadapi dalam hal energi listrik, terutama di daerah perdesaan. Akses kepada tingkat pasokan listrik hanya tersedia sekitar 54% bagi penduduk Indonesia, jauh lebih rendah dari tingkat rata-rata dunia, yakni 74%. Karena Indonesia adalah sebuah kepulauan dengan banyak pulau yang tersebar, ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai akan menghasilkan tingkat standar hidup yang rendah bagi daerah-daerah terpencil.
Pilihan Kebijakan
Pengintegrasian berbagai aksi kebijakan diperlukan untuk mengurangi kesenjangan regional. Berbagai kebijakan yang dipandang sebagai prioritas adalah sebagai berikut :
Pertama, pengembangan sumber daya manusia, terutama di kawasan timur, di daerah perdesaan, dan di daerah terpencil. Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan akses terhadap pendidikan dan melibatkan masyarakat perdesaan dalam jaringan komunitas.Pengembangan kapasitas sumber daya manusia di KTI sangat penting melalui upaya-upaya yang memungkinkan masyarakat setempat memanfaatkan sumber daya laut dan perikanan mereka yang kaya.
Kedua, pembangunan infrastruktur dasar di daerah perdesaan dan terpencil, termasuk infrastruktur fisik (jalan, listrik, air), serta pendidikan dan kesehatan. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan infrastruktur dasar bagi daerah-daerah tersebut. Infrastruktur yang menghasilkan keuntungan di daerah-daerah yang lebih sejahtera dapat dialihkan ke sektor swasta atau kerja sama antara negara dan swasta.
Pola-Pola Kesenjangan Regional

Ketiga, membangun daerah-daerah perdesaan melalui kegiatan usaha pertanian dan nonpertanian. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator untuk menstimulasi ekonomi perdesaan melalui berbagai cara, seperti penyediaan infrastruktur, pendidikan, kredit, dan lain-lain, yang memengaruhi pengembangan kegiatan usaha pertanian dan nonpertanian.***